KOMPAS.com - Puluhan keluarga korban Tragedi Kanjuruhan melakukan aksi di Pintu 13 Stadion Kanjuruhan, Kepanjen, Kabupaten Malang, pada Sabtu (3/6/2023) sore.
Mereka menolak rencana pembongkaran stadion dan meminta agar bekas markas Arema FC tersebut dijadikan monumen bagi Tragedi Kanjuruhan.
Keluarga korban tidak rela setelah proses peradilan yang tidak memuaskan kini memori atas kedzaliman di malam tragedi sepak bola terbesar kedua di dunia tersebut terancam menguap.
"Kalau dibongkar, bagaimana nasib anak-anak kami yang telah mendukung klub Arema ini? Sementara, tidak ada keadilan bagi mereka," kata Rini Hanifah (37), ibu salah satu korban Tragedi Kanjuruhan, Agus Riansyah (20).
Mereka ingin supaya Stadion Kanjuruhan dipertahankan sebagai saksi bisu bencana sepak bola yang menewaskan 135 korban jiwa.
Baca juga: Tragedi Kanjuruhan Jadi Sorotan dalam Anugerah Pewarta Foto Indonesia 2023
Sekaligus, sebagai jejak sejarah dan sisa cerita yang merawat ingatan publik akan tragedi terburuk dalam sepakbola Indonesia itu.
"Biar keturunan kita tahu, bahwa pernah terjadi tragedi maut di dunia pesepak bolaan Indonesia," kata Isatus Saadah (25), kakak dari korban tragedi Kanjuruhan asal Kecamatan Pagelaran Kabupaten Malang, Wildan Ramadhani (16).
Penolakan pembongkaran dan desakan dibuatnya monumen bagi Tragedi Kanjuruhan juga menjadi bentuk perjuangan keluarga korban yang belum selesai mencari keadilan.
Keluarga sudah ikhlas dengan kepergian korban, namun masih tidak terima mengapa harus meninggal dengan cara yang tragis.
Sebab, para korban berangkat untuk menyaksikan pertandingan sepak bola namun justru meregang nyawa karena mendapatkan perlakuan layaknya kriminal.
Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!
Syarat & KetentuanPeriksa kembali dan lengkapi data dirimu.
Data dirimu akan digunakan untuk verifikasi akun ketika kamu membutuhkan bantuan atau ketika ditemukan aktivitas tidak biasa pada akunmu.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.