PADA 1980-an, klub sepak bola Sari Bumi Raya pindah dari Bandung ke Yogyakarta. Pertandingan awal digelar di Stadion Kridosono melawan Tunas Inti dari Jakarta.
Itulah pertama kali saya melihat langsung pertandingan sepak bola antarklub di Indonesia. Bagi saya, pertandingan itu luar biasa dan akan saya kenang seumur hidup.
Saya waktu itu masih SD. Diajak kakek nonton langsung pertandingan sepak bola tanpa ada kekhawatiran timbul keonaran dan tindak kekerasan.
Padahal Stadion Kridosono begitu sederhana. Hanya seperempat stadion yang menyediakan tempat duduk. Sisanya, mayoritas penonton berdiri.
Antara penonton berdiri dengan lapangan bola nyaris tidak ada jarak. Hanya menyisakan sedikit ruang untuk penjaga garis agar bisa berlarian menjaga batas lapangan yang menjadi tanggungjawabnya.
Penonton dari jarak sangat dekat bisa melihat para pemain menggiring bola. Bahkan bila ada muntahan bola bisa langsung mengenai tubuh penonton.
Inilah kelebihan sepak bola Indonesia masa lalu. Semua yang terlibat dalam pertandingan, mulai dari pelatih, pemain, wasit dan penonton berdisiplin tinggi.
Keonaran dan kekerasan meminggir, berganti menjadi permainan penuh sportivitas. Sepak bola menjadi hiburan keluarga.
Berpuluh tahun kemudian terjadi pembalikan radikal menyoal sepak bola Indonesia. Pertandingan sepak bola digelar, artinya teror segera muncul.
Para suporter yang mendatangi stadion sudah menunjukkan wajah penuh teror. Pun ketika pertandingan berlangsung. Baku hantam bisa terjadi antara pemain, pelatih, dan wasit.
Belum ditambahi ulah suporter yang lebih sering kalap ketimbang duduk manis mengapresiasi pertandingan.
Pascapertandingan juga menyisakan persoalan tersendiri. Terlebih apabila tuan rumah mengalami kekalahan.
Ulah suporter begitu buruk dengan merusaki berbagai fasilitas umum, maupun berkelahi dengan penduduk setempat.
Sepak bola pada masa lalu yang menjadi hiburan keluarga berubah menjadi arena keonaran yang tidak mencerdaskan.
Mengapa sepak bola masa lalu bisa menjadi hiburan keluarga sehingga saya ketika itu yang masih duduk di SD berani datang ke stadion tanpa ada rasa was-was?