SABTU malam pada 1 Oktober 2022, sebuah tragedi yang menjadi sejarah kelam sepak bola Indonesia bahkan dunia terjadi. Waktu itu seratusan orang meninggal dunia di Stadion Kanjuruhan, Malang, Jawa Timur. Setelah dihitung dengan beberapa yang meninggal setelah tanggal tersebut, total korban tewas dalam tragedi itu sebanyak 133 orang.
Salah satu yang disorot masyarakat terkait peristiwa itu adalah sikap Aremania yang dianggap tidak mau menerima kekalahan klubnya dari Persebaya, sehingga menyebabkan kericuhan. Aremania merupakan nama kelompok pendukung klup sepak bola Arema, Malang.
Benarkah Aremania tidak bisa menerima kekalahan dalam pertandingan di Stadion Kanjuruhan itu sehingga melakukan kericuhan?
Baca juga: Laporan TGIPF: Ditembaki Gas Air Mata, Aremania Teriaki “Polisi Pembunuh dan Polisi Sambo”
Mari kita lihat catatan pertandingan Arema FC musim ini. Total, Arema FC sudah menjalani 11 pertandingan dengan catatan empat kali menang, dua kali imbang, dan lima kali kalah.
Sebelum pertandingan melawan Persebaya pada 1 Oktober itu, Arema bahkan sudah dua kali kalah di stadion Kanjuruhan, yakni saat melawan Persija pada 28 Agustus 2022 dan melawan Persib pada 11 September 2022. Pada dua kekalahan itu tidak ada kerusuhan yang terjadi, semua berakhir damai.
Persib selama 12 tahun terakhir dianggap salah satu klub rival Arema. Secara mengejutkan bahkan terdapat suporter Persib yang ikut menonton di tribun 1 stadion Kanjuruhan. Pertandingan itu menjadi tonggak perdamaian suporter kedua klub yang selama 12 tahun ini terlibat perang dingin.
Pada musim ini, kekalahan di kandang bukan merupakan sesuatu yang baru untuk Aremania. Kekalahan bahkan tidak merusak upaya damai antara Aremania dan suporter Persib pada 11 September itu.
Mundur ke belakang, kekalahan Arema FC di Kanjuruhan, atau bahkan Gajayana (kandang Arema sebelum Kanjuruhan) merupakan hal yang biasa. Catatan penulis, Gajayana dan Kanjuruhan tidak pernah dirusak oleh Aremania, apapun hasilnya.
Baca juga: Polri Pastikan Akan Tuntaskan Rekomendasi TGIPF Tragedi Kanjuruhan
Pada 2003, Arema bahkan terdegradasi ke divisi satu (kasta kedua), dan kondisi itu tidak menyurutkan dukungan Aremania kepada tim Arema.
Stadion Gajayana tetap penuh pada Liga Pertamina (divisi satu) 2004. Arema melewati satu musim di kasta kedua, sebelum kembali ke kasta tertinggi sepak bola Indonesia dengan status juara Liga Pertamina 2004.
Dalam sepak bola modern, hampir tidak ada suporter yang tidak bisa menerima kekalahan timnya, dan hampir tidak ada tim yang tidak terkalahkan di kandang. Anggapan orang awam bahwa kerusuhan suporter hanya sesimpel tidak menerima kekalahan tentunya tidak tepat.
Penyebab kerusuhan suporter menurut Santoso (1997) dibagi dalam tiga faktor yakni faktor internal, eksternal, dan faktor situasi.
Faktor internal yakni fanatisme kedaerahan yang tinggi pada diri suporter dan kelompoknya yang didukung oleh situasi yang terjadi pada saat pertandingan, bisa mendorong terjadinya kerusuhan suporter dan dapat memicu sikap etnosentris di kalangan suporter.
Dalam kejadian di Kanjuruhan, hal ini mungkin terjadi jika ada suporter Persebaya. Namun, potensi itu sudah diantisipasi Panpel, Polres Malang, dan kedua kelompok suporter dengan tidak datangnya suporter Persebaya pada pertandingan itu.
Baca juga: Tim Hukum Aremania Bakal Ajukan Upaya Hukum Perdata Pemenuhan Hak Korban
Faktor eksternal yakni kondisi stadion dan fasilitasnya yang kurang memadai, ditambah sistem pengamanan stadion dan pertandingan yang kurang baik. Hal itu akan menjadi faktor eksternal pemicu terjadinya kerusuhan suporter.