"Mereka (suporter) turun untuk tujuan mencari pemain dan pihak manajemen, kenapa bisa kalah," kata Kepala Kepolisian Daerah (Kapolda) Jawa Timur Irjen Pol Nico Afinta dalam konferensi pers di Mapolres Malang, Minggu (2/10/2022) pagi.
"Terpaksa jajaran keamanan menembakkan gas air mata," ujar Nico Afinta menjelaskan.
Ketua Save Our Soccer, Akmal Marhali, menyebut ada unsur kelalaian dari PSSI yang dinilainya tidak mengkomunikasikan prosedur terkait kepada kepolisian.
"Ini terkait pihak kepolisian yang melaksanakan tugas atau pengamanan tidak sesuai prosedural dan melanggar FIFA Safety and Security Stadium pasal 19 poin B, di mana senjata api dan gas air mata tidak boleh masuk ke sepak bola," kata Akmal.
Menurut Akmal, pengamanan dalam pertandingan sepak bola berbeda dengan prosedur penanganan demo.
"Ini juga kelalaian PSSI, ketika melakukan kerja sama dengan pihak kepolisian tidak menyampaikan prosedur ini bahwa pengamanan sepak bola itu berbeda dengan pengamanan demo," ujar Akmal.
"Tidak boleh ada senjata dan gas air mata yang masuk ke dalam stadion," tutur Akmal menegaskan.
Namun, bagaimana jika gas air mata ibarat kata menjadi pelatuk dari peluru-peluru masalah lain yang sudah lebih dulu terakumulasi, seperti jam kickoff malam yang senantiasa memicu polemik serta jumlah penonton yang tak mengindahkan rekomendasi.
Panpel laga Arema FC vs Persebaya disebut tak menjalankan usulan dari pihak keamanan untuk menggeser waktu sepak mula menjadi sore hari dan membatasi penonton dengan cara hanya mencetak 38 ribu tiket.
“Tapi usul-usul itu tidak dilakukan oleh panitia yang tampak sangat bersemangat. Pertandingan tetap dilangsungkan malam dan tiket yang dicetak jumlahnya 42.000,” kata Menko Polhukam, Mahfud MD, dalam artikel terbitan KOMPAS.COM berjudul “Mahfud MD Sebut Panpel Arema Abaikan Usul Polri”.
Baca juga: Kerusuhan di Kanjuruhan: Ketika Sepak Bola Dunia Mengheningkan Cipta untuk Indonesia...
Pengamat sepak bola senior, Weshley Hutagalung, mencoba melihat tragedi di Kanjuruhan, Malang dalam perspektif yang lebih luas.
“Sedih saya bahas ini. Seolah protokol pengelolaan sepak bola di Indonesia itu dianggap sepele, enggak mau melihat persoalan secara komprehensif dan preventif,” kata Weshley Hutagalung kepada KOMPAS.COM.
Weshley Hutagalung menilai tiga lingkaran sepak bola mutlak mesti menyatukan paradigma.
Sehingga, proses pembangunan sepak bola tak berjalan sendiri-sendiri, menyesuaikan kebutuhan dan keinginan golongan tertentu.
“Sepak bola kita belum menemukan posisi yang pas di mata semua pihak. Pertanyaan mendasar, ‘Di mana posisi sepak bola dalam kehidupan kita berbangsa dan bernegara?’”
“Kalau semua melihat hal yang sama dari sepak bola, maka turunan posisi dan peran sepak bola tidak akan jauh berbeda dalam pemahaman kita, seluruh stakeholder sepak bola Nusantara.”
“3 lingkaran sepak bola, pemerintah, federasi, dan swasta harus punya pandangan yang sama dan punya cetak biru dalam pengelolaan sepak bola, bukan hanya fokus kompetisi, tapi juga pembinaan sejak usia dini, serta nilai-nilai sepak bola dijadikan bahan dalam materi pembelajaran formal dan non-formal.”
Weshley Hutagalung berpandangan proses edukasi sepak bola idealnya melibatkan banyak unsur, termasuk kalangan pendidik dan aktivis agama.
Redaktur Pelaksana Harian KOMPAS, Adi Prinantyo, juga menyerukan urgensi akan evaluasi.
“Sebetulnya insiden di Malang ini memoret bagaimana kurang lebih wajah liga domestik kita,” kata Adi Prinantyo dalam sebuah program di KOMPAS TV.