Ada banyak nama dan sebutan untuk gas air mata. Dalam bahasa dokumen, gas air mata disebut dengan nama riot control agent (RCA). Zat kimia yang dipakai di dalam RCA juga tak satu jenis saja di dunia.
Yang paling umum, zat kimia yang dipakai dalam gas air mata adalah chloroacetophenone (CN) dan chlorobenzylidenemalononitrile (CS). Ada juga chloropicrin (PS) yang adalah fumigan dan jamak dipakai untuk pengasapan area. Lalu, umum dipakai pula di gas air mata bromobenzilsianida (CA), dibenzoxazepine (CR), dan kombinasi aneka zat kimia.
Namun, fungsi gas air mata ini pada intinya sama, yaitu membuat orang untuk sementara tidak berdaya, karena iritasi di mata, mulut, tenggorokan, paru-paru, dan kulit. Efeknya bisa sementara saja buat sebagian orang, tetapi juga bisa fatal dari cacat permanen hingga meninggal bagi sebagian yang lain.
Yang kemudian jadi perkara, gas air mata sudah dilarang dipakai di perang sejak kesepakatan Geneva Gas Protocol pada 1925.
Masalahnya, larangan ini kemudian dinyatakan tak berlaku untuk penanganan kerusuhan massa, setidaknya merujuk pada konvensi senjata kimia pada 1993. Meskipun, pada konvensi 1993 itu juga gas air mata dinyatakan masuk kategori senjata kimia.
Pertanyaannya, apakah gas air mata benar-benar satu-satunya cara dan bahkan peranti yang sesegera mungkin dipakai dalam penanganan kerusuhan massa?
Khusus terkait laga sepak bola, Federasi Sepak Bola Dunia (FIFA) sejatinya juga punya aturan soal penggunaan gas air mata. Sekalipun, keberpihakan aturan ini condong kepada keselamatan pemain dan official-nya.
Merujuk FIFA Stadium Safety and Security Regulations, penggunaan gas air mata dilarang di stadion, demi perlindungan pemain dan official serta menjaga ketertiban penonton. Perdebatan soal pengamanan laga sepak bola juga nyaris muncul di setiap diskusi persiapan perhelatan ajang internasional, seperti Piala Dunia.
Baca juga: Penggunaan Gas Air Mata di Kanjuruhan, Melanggar Aturan FIFA
Kerusuhan suporter sepak bola bukanlah kejadian tunggal di Kanjuruhan. Di Indonesia, kerusuhan suporter adalah kejadian yang lebih nyata dari prestasi olahraganya. Namun, di dunia pun kerusuhan suporter juga tak langka.
Meski demikian, sepertinya tak ada pelajaran dipetik dalam penanganan kerusuhan sepak bola di dunia terkait penggunaan gas air mata. Ada sederet kejadian di dunia yang telah menjadi contoh buruk tragedi akibat penggunaan zat kimia ini.
Salah satu contoh tragedi terkini adalah laga final Liga Champions di Paris, Perancis, antara Liverpool dan Real Madrid, pada 28 Mei 2022. Semula, suporter klub Liverpool yang memancing kerusuhan dituding sebagai biang kerok tragedi.
Belakangan, investigasi Senat Perancis menyatakan kesalahan ada pada penyelenggara dan otoritas keamanan sehingga tragedi yang "hanya" menewaskan dua orang itu terjadi.
Hampir persis seperti tragedi di Stadion Kanjuruhan, kerusuhan suporter yang berujung lontaran gas air mata otoritas keamanan di dalam stadion juga pernah terjadi di tengah laga penyisihan Piala Dunia, antara tim nasional Zimbabwe dan Afrika Selatan, di Stadion Harare, Zimbabwe, pada 2000.
Saat itu, 12 orang tewas. Stadion Harare pun langsung dinyatakan terlarang untuk pertandingan internasional, meski sekarang larangan sudah dicabut. Zimbabwe yang bahkan belum pernah lolos masuk laga utama Piala Dunia langsung dihujani aneka sanksi internasional.
Persatuan Sepakbola Seluruh Indonesia (PSSI) sudah buka suara, Minggu (3/10/2022) dini hari. Investigasi dijanjikan akan digelar dan tuntas mengusut tragedi Stadion Kanjuruhan. Liga 1 pun dinyatakan akan dihentikan sementara selama satu pekan.
Baca juga: PSSI Hentikan Liga 1, Dukung Polisi Usut Tuntas Insiden di Kanjuruhan