Pada saat itulah sebuah keputusan kontroversial lahir. Kala bola mengudara, Thomas Clive meniup peluit panjang.
Lalu, dalam hitungan sepersekian detik, bola mampu disambar oleh Zico yang lolos dari penjagaan.
Bola hasil sundulan Zico pun masuk ke gawang Swedia. Sejumlah pemain Brasil kemudian menyambut dengan gerakan selebrasi.
Baca juga: Andres Iniesta: Timnas Brasil Kandidat Kuat Juara Piala Dunia 2022
Namun, anehnya, para pemain Swedia, termasuk kiper Ronnie Hellstroem, tampak tenang menyikapi gol Zico.
Ternyata, mereka sadar bahwa wasit Thomas Clive telah meniup peluit panjang sebelum Zico menyambut bola.
Thomas Clive pun melambaikan tangan. Dia menunjukkan isyarat yang berarti bahwa gol Zico tidak sah.
Para pemain Brasil yang sebelumnya melakukan selebrasi, sontak melancarkan protes kepada Thomas Clive.
Sementara itu, para pemain Swedia saling berpelukan untuk merayakan hasil imbang kontra Brasil.
Baca juga: Kilas Balik Piala Dunia 1962: Panggung Garrincha, Brasil Kembali Naik Takhta
Sebelum Piala Dunia 1978 dimulai, para wasit dikirimi sebuah kontrak yang menetapkan bahwa mereka tidak boleh berbicara kepada pers selama turnamen.
Thomas Clive menerima kontrak tersebut, tetapi menolak untuk menandatanganinya.
"Anda mengenal saya. Jika saya punya sesuatu untuk dikatakan, saya akan mengatakannya," kata Clive yang teguh pada pendiriannya, dikutip dari The Guardian.
Benar saja, setelah meniup peluit kontroversial pada laga Brasil vs Swedia, Thomas Clive berbicara kepada dua jurnalis asal Inggris.
"Saya melihat sundulan, tapi saya tidak melihat bola masuk ke gawang. Saya sudah berbalik badan," ujar Clive.
"Sejauh yang saya ketahui, pertandingan sudah berakhir. Para pemain Brasil seharusya menyalahkan diri sendiri. Mereka semestinya tidak membuang banyak waktu untuk mengambil tendangan sudut," tutur wasit asal Wales tersebut.
Baca juga: Neymar seperti Penyihir, Siap Pecahkan Rekor di Piala Dunia 2022
Setelah itu, Thomas Clive terbang ke Buenos Aires. Keesokan harinya, dia dibangunkan oleh anggota komite wasit FIFA, Friedrich Seipelt.