Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Andibachtiar Yusuf
Filmmaker & Football Reverend

Filmmaker & Football Reverend

Piala AFF, Piala Dunia Bangsa Asia Tenggara...

Kompas.com - 29/12/2021, 16:10 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

"PIALA DUNIA bangsa Asia Tenggara memang Piala AFF, bro," sergah Freddie Arifin, pentolan Ultras Malaya, sekitar 8 tahun yang lalu. Saya ingat betul sore itu di Kuala Lumpur saya sedang memuji Thailand yang konsisten serta Vietnam yang terus menguat.

Sementara saya saat itu yakin bahwa kedua negara ini punya peluang bicara lebih jauh dari sekadar regional, Freddie berpendapat sebaliknya.

"Bisa jadi bangsa kita ini memang paling belakang dari berbagai segi, peradaban bahkan teknologi," katanya sembari tertawa dan menghabiskan kopinya yang makin dingin.

Ini adalah catatan pertama saya sepanjang gelaran AFF 2020 ini, gelaran ini entah mengapa tidak terlalu menarik perhatian saya yang selalu menyebut diri sebagai "Penganut Sepak Bola".

Mungkin saya jenuh dengan besarnya harapan yang selalu diangankan oleh bangsa saya, mungkin juga saya sudah tidak percaya lagi bahwa orang kita beneran bisa bermain sepak bola.

Pemain tim nasional masih kena omel akibat tak mampu passing atau berstamina buruk. Liga kita menyajikan pertandingan yang jika disaksikan tanpa rasa cinta pada permainan ini mungkin akan selalu berlangsung membosankan. Menyaksikannya secara langsung adalah pilihan terbaik, tetapi situasi pandemi sama sekali tidak membolehkannya.

Baca juga: Indonesia Vs Thailand: Lawan Sebut Punya Strategi Khusus untuk Kalahkan Garuda

Pertandingan awal grup kita terjadi ketika saya sedang berada di Banjarmasin. Sore itu kebetulan produksi teaser project kami sedang break.

Saya bahkan lupa bahwa Indonesia bertanding sore itu, seisi kafe sepertinya pun tak peduli. Kebetulan saja pemilik kafe yang konon salah satu putra alm H Sulaiman tetap menayangkan pertandingan Indonesia vs Kamboja lewat layar lebar.

Pertandingan yang jika kita sudah terbiasa menonton Liga Eropa di televisi akan terlihat biasa saja, tetapi menjadi istimewa karena yang bermain negara sendiri dengan hasil akhir kemenangan 4-2.

Dasar Penganut Sepak Bola, semalas-malasnya saya, akhirnya setiap pertandingan pun tetap saya saksikan dan kali ini saya menemukan Indonesia yang berusaha keras bermain dengan skema. Terlihat pelatih Shin Tae-yong memilih starting XI-nya berdasarkan kebutuhan taktik dan skema yang diinginkan.

Saat bertarung dengan Vietnam dan kita disebut sebagai "A good example on how playing against the attacking Vietnam," oleh komentator di siaran streaming saya melihat pemain Indonesia yang disiplin dan terus berusaha berlari.

Sebuah rekaman video menunjukkan seperti apa pemahaman Shin Tae-yong terhadap permainan. Dengan jeli, ia menyebut bek kiri Malaysia tak mampu menendang dengan kaki kiri, Dion Cools, yang digocek sedikit akan mudah tertinggal, termasuk permintaan untuk terus menjaga jarak dengan baik dengan lawan.

Baca juga: Thailand Unggul Rekor Pertemuan, Timnas Indonesia Wajib Waspada

Pelatih yang sepanjang era kepelatihannya di tim nasional kita selalu dipenuhi drama ini memang seolah ingin memberi tahu kita bagaimana cara bersepak bola dengan baik. Ia memilih para pemain bukan karena catatan statistik dari si pemain. Dia tidak memilih penyerang yang produktif di liga.

Komentator Singapura sampai sibuk membahas ketidakhadiran Ilija Spasojevic (striker Bali United) atau pemain top lainnya di dalam tim ini. Pemain paling top dalam skuad macam Evan Dimas bahkan sama sekali tidak punya jaminan akan terus berada di Starting XI tim jika ia bukan dari strategi awal permainan.

Ketika melawan Malaysia, saya baru sadar betapa mudanya tim ini. Kapten Asnawi Mangkualam—yang mungkin adalah satu-satunya pemain yang paham secara langsung makian apa yang dikeluarkan oleh Shin Tae-yong—baru berusia 22 tahun, Witan seingat saya masih 20 tahun, dan seterusnya.

Saya melihat pemain Malaysia menjadi tampak tua di hadapan anak-anak muda yang baru melewati masa abege. Shin Tae-yong seperti sadar betapa repotnya mengurus pemain senior, apalagi jika sudah berstatus bintang.

Baca juga: Final Piala AFF: Bola Itu Bulat, Bukan Jargon Omong Kosong buat Shin Tae-yong

Ia mungkin sadar bahwa anak-anak muda ini bukan hanya potensial, melainkan juga masih punya kemauan untuk dibentuk dan yang paling penting ia sadar bahwa Manchester City atau Perancis 1998 juga tidak punya penyerang produktif dalam tim mereka untuk bisa menjadi juara.

Ketika bangsa Indonesia yang jago menonton sepak bola itu mempertanyakan produktivitas para penyerang, mereka seolah sudah menihilkan sekaligus melupakan esensi dari permainan sepak bola... kerja sama tim!

Malam ini, saya berniat duduk santai menyaksikan negara saya menghadapi Thailand yang selalu impresif dalam setiap penampilan mereka di turnamen ini. Saya berharap akhirnya pada era kehidupan, saya bisa merasakan negeri ini memenangi "Piala Dunianya Bangsa Asia Tenggara" karena Piala Asia, saat ini rasanya masih jauh sekali dari pandangan...

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com