Saya tak pernah mampu menemukan jawabannya, jika pun coba menjabarkannya biasanya selalu ada saja yang merasa pendapat saya tak pantas.
Faktanya, sejak program nasionalisasi sekitar 1955, negeri yang sudah bernama Indonesia ini menjadikan semua aset milik Belanda dan asing lainnya masuk ke pelukan negara.
Niatnya tentu bagus karena negeri baru dan besar ini perlu membangun dan mengisi pundi-pundi kasnya agar bisa mensejahterakan rakyatnya.
Cover National Geographic tahun 1955 dengan cover Bung Karno menunjukkan potensi dahsyat negeri ini. Hutan luas di Kalimantan, emas di Jawa dan Sulawesi, minyak di Sumatera dan tentu saja potensi wisata yang bisa dihasilkan.
Indonesia disebut sebagai sebuah negara yang siap jadi raksasa.
50 tahun kemudian, majalah yang sama memberikan cover yang sama. Bedanya, kali ini berisikan kisah kegagalan negeri ini.
Berpindahnya aset-aset tadi ke tangan negara diikuti dengan pengusiran banyak orang-orang yang dianggap asing, terutama kulit putih.
Baca juga: Jacksen F Tiago Respons Keras Isu Naturalisasi untuk Timnas Indonesia
Juga di perpustakaan Leiden, saya pernah menemukan sebuah artikel tentang mereka yang terusir dari negeri yang mereka cintai yaitu Indonesia.
Seorang lelaki berayah Jerman beribu Perancis yang tadinya bekerja di kantor pos di Semarang, pindah ke Jakarta pasca-proklamasi.
Kemudian, dia pindah ke Makassar pasca-Konferensi Meja Bundar 1949, dan harus rela diusir dari tanah kelahirannya dan pergi ke tanah yang ia sama sekali tidak pahami yaitu Eropa.
Kisah lainnya, seorang perempuan keturunan Polandia dan Italia di Garut, terpaksa pergi dari rumahnya di Bandung dan kembali ke tanah leluhurnya di Eropa, dan banyak kisah-kisah lain.
Sudah lama saya selalu penasaran, bagaimana negara yang lama berhubungan dengan bangsa Eropa ini, kini menjadi gamang jika sudah bicara soal orang Eropa.
Kisah di atas mungkin bukan jawaban tepatnya, tetapi kita seperti tercerabut dari sejarah kita sendiri, sesuatu yang telah membentuk banyak peradaban kita sendiri.
Makanya ketika orang-orang macam Ezra Walian, Sandy Walsh, Jordi Amat dan yang lainnya, diajak membela tanah nenek moyangnya, banyak dari kita merasa keberatan.
Fakhri Husaini, yang pernah menjadi pelatih tim usia muda Indonesia dan mantan pemain nasional terkemuka di eranya, pun menyatakan rasa keberatan yang sama.