Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Andibachtiar Yusuf
Filmmaker & Football Reverend

Filmmaker & Football Reverend

Harga dan Keinginan Mengonsumsi (Membandingkan Harga Tiket dengan Kualitas Sepak Bola Kita)

Kompas.com - 27/10/2021, 20:51 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Kita selalu bangga dengan catatan rekor final Perserikatan 1985 antara PSMS Medan vs Persib Bandung yang katanya sampai dihadiri 180.000 penonton.

Padahal tidak pernah ada catatan ditemukan soal berapa banyak orang yang membeli tiket resmi, apalagi catatan berapa sih pendapatan panpel malam itu hanya dari tiket?

Persoalan ekonomi di Indonesia yang memang hanya bagus di kulit luar membuat kenaikan harga walau hanya secuil sering menjadi perdebatan, seperti ketika tiket termurah Persija di kandang GBK naik dari Rp 20.000 ke Rp 30.000.

Banyak pendukung tim yang meradang karenanya. Persoalan ekonomi kemudian diargumentasikan kepada persoalan kualitas sepak bola kita yang memang cuma segitu doang.

Betul jika hanya orang-orang tak beriman saja yang berani membandingkan liga kita, bahkan dengan Liga Jepang sekalipun.

"Di Inggris kita lihat kualitas dan nama-nama besar, di sini kan cuma gini-gini aja."

Padahal bukan itu esensinya, karena yang pertama kali protes justru orang-orang yang katanya sangat mencintai sepak bola nasional, sementara orang-orang yang sejak awal memang tak peduli dengan tontonan sepak bola nasional malah sama sekali tidak bersuara.

Kita terlalu terbiasa untuk hidup di masa barbar, era ketika barter adalah cara membayar jasa.

Terbiasa hidup di era klub sepak bola tidak butuh pemasukkan karena pembiayaan klub dilakukan oleh negara, terbiasa pula untuk mendapatkan segalanya dengan murah.

Nonton langsung di televisi gratis adalah salah satunya. Lalu ketika sepak bola berubah menjadi industri, kita bagai kelimpungan sendiri dan menyalahkan kualitas sepak bola kita yang rendah itu, sebagai alasan mengapa nilai pertandingan langsung menjadi harus murah.

Padahal, yang bermasalah adalah kita sebagai penonton yang terlalu lama hidup manja.

Terlalu lama menikmati sesuatu yang di bawah standar sembari dibuai jargon-jargon media bahwa kita adalah yang terbaik di dunia, seolah jadi yang terbaik itu bisa didapat dengan pemikiran chauvinism belaka bukan dengan pencapaian yang sebenarnya.

Hal semacam ini tidak hanya terjadi dalam sepak bola, tetapi di banyak bidang lain.

Baca juga: Di Anfield, Pendukung Bayern Protes Mahalnya Harga Tiket

Dalam pekerjaan saya sebagai seorang filmmaker, sudah tak terhitung berapa banyak film kita atau film buatan bangsa lain ditonton dengan cara ilegal tanpa si pelaku punya rasa bersalah.

Apakah ini terjadi karena si penonton bajakan tak punya uang?

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com