"Tiket itu terlalu mahal, tidak sebanding dengan kualitas liga," demikian ujar seorang kawan di grup WhatsApp.
Dia tentu tidak sendirian, tak sampai sejam setelah berita harga tiket itu dirilis, nyaris semua orang mempertanyakan persoalan harga dan kemudian membandingkannya dengan kualitas liga yang konon amburadul.
Tak lama kemudian komentar bisa beralih dengan kemampuan tim nasional dalam 30 tahun terakhir.
Persoalannya, perdebatan serta komentar-komentar merendahkan sepak bola kita sendiri itu biasanya justru muncul dari orang-orang yang katanya sangat cinta pada sepak bola di Tanah Air dan katanya juga sampai rela melakukan apapun demi tim kesayangannya.
15 tahun lalu di City of Manchester (kini Ettihad Stadium), saya memang tidak disuguhi nama-nama sebesar Kevin de Bruyne, Gabriel Jesus atau Bernardo Silva.
Man City yang saat itu masih inferior dibandingkan Manchester United masih diperkuat Robbie Fowler atau Trevor Sinclair.
Siang itu mereka meladeni tetangga mereka yang datang dengan calon GOAT Cristiano Ronaldo serta nama-nama yang hari ini umumnya menjadi legenda Manchester United.
Pada hari Sabtu itu, saya harus merogoh kantong sedalam 45 poundsterling untuk duduk di sudut yang sejajar dengan areal tendangan penjuru.
Mungkin hari itu saya tak banyak protes karena saya menyaksikan orang-orang yang sebelumnya hanya bisa saya saksikan di televisi.
Tetapi tak berapa lama kemudian--terutama setelah kebanyakan nongkrong dengan para pribumi--saya pun mulai merasa harga tiket itu terlalu mahal.
"Ashburton Grove (Emirates) itu isinya kebanyakan turis!" sergah Antony Sutton, penulis sepak bola The Indonesian Way of Life.
Baca juga: Harga Tiket Indonesia Vs Malaysia Mahal, Begini Kata Simon McMenemy
Ia yang die hard fans Arsenal menyatakan tak akan mau dimakan oleh kapitalisme sepak bola karena harga tiket yang terlalu tinggi dan tentu saja atmosfer yang sudah berubah.
Tetapi itu kata dia dulu. Belakangan ia kembali rajin ke stadion dan sudah tak peduli lagi dengan harga tiket.
Inggris jelas berbeda dengan Indonesia. Di sana hot dog pinggir jalan baru bisa dikonsumsi setelah membayar sekitar 5 pound, sementara di Jakarta makanan level sejenis akan berharga sekitar Rp 20.000 (sekitar 1,2 pound).
Di sini kita juga terbiasa menyaksikan sepak bola dengan cara gratisan dengan berbagai teknik apapun mulai dari manjat pagar, berburu kenalan orang dalam atau jika perlu "salaman" dengan pihak keamanan.