Inilah sebabnya mengapa atlet berlatih 5-6 hari seminggu, dan melakukan latihan berulang untuk meningkatkan keahlian mereka.
Termasuk di sini adalah latihan kekuatan untuk mencegah cedera pada otot, ligamen, tendon, dan tulang.
Jadi setiap atlet harus berdisiplin melakukan latihan. Jika mereka tidak berdisiplin berlatih olahraga maka mereka tidak akan pernah bisa meraih prestasi terbaik.
Sejumlah riset membuktikan, minimnya prestasi Indonesia dalam bidang olahraga terjadi karena tidak optimalnya peran para pemangku kepentingan (stakeholders) seperti atlet, mantan atlet, swasta, dan pemerintah.
Saat ini beberapa bidang olahraga memang cukup menarik minat para generasi muda seperti bulutangkis dan sepakbola. Namun di bidang-bidang olahraga lainnya di Indonesia jarang sekali diminati. Beberapa penyebabnya antara lain ketidakjelasan jalur karier di bidang-bidang olahraga tersebut.
Bahkan dalam hal karier pascapensiun, bulutangkis dan sepakbola pun setali tiga uang dengan bidang lain. Banyak mantan atlet yang telantar, hidup dengan beberapa permasalahan yang tak terselesaikan seperti gaji dan sebagainya. Ini membuat regenerasi atlet menjadi tersengal-sengal.
Hal lain yang membuat olahraga tidak terbangun secara terintegrasi dengan sistem pendidikan.
Pendidikan dan olahraga bukan paduan yang pas, seperti dua kutub magnet yang sama yang mencoba untuk bergabung; tentu tak akan pernah bersatu.
Banyak lembaga pendidikan yang memberikan "hukuman" pada siswa yang lebih memilih olahraga dibanding belajar untuk nilai pelajaran yang bagus.
Selain itu memang tidak ada program pelatihan dari pemerintah yang memberikan ruang bagi setiap siswa untuk memilih jalur olahraga untuk berprestasi lebih baik.
Minimnya dana untuk pembinaan olahraga adalah kendala lain bagi prestasi atlet Indonesia. Ibarat pepatah, sudah jatuh tertimpa tangga.
Sudah tak ada program pembinaan yang memadai, dana pembinaan pun tak cukup banyak. Bila dibandingkan dengan negara lain, anggaran kementerian pemuda dan olahraga Indonesia jauh lebih kecil hanya 0,08 persen.
Di Australia, Thailand dan Singapura, dana olahraga mereka mencapai masing-masing 0,1 persen, 0,2 persen, dan 4,2 persen dari pendapatan negara.
Hal lain yang juga menjadi kendala adalah belum optimalnya keterlibatan pihak swasta dalam pembinaan olahraga.
Sebenarnya banyak pihak swasta di Indonesia ingin lebih membantu perkembangan olahraga di Indonesia.