"Hal yang ingin saya sampaikan adalah, tidak ada kah orang di Federasi Sepakbola Indonesia yang berpikir bahwa lama seorang pelatih menangani tim nasional, sangat berpengaruh dengan hasil yang akan diraih oleh tim nasional itu sendiri," ucap Bepe.
Baca juga: Timnas Indonesia Kalah Lagi, Salah Siapa?
"Dalam hal ini kita bisa belajar bagaimana Singapura begitu yakin, percaya, dan menghargai Radojko sebagai seorang pelatih tim nasional. Raddy juga tidak luput dari kegagalan dalam beberapa turnamen, tetapi Federasi Sepakbola Singapura tetap yakin, sabar, dan percaya," kata dia.
Menurut Bepe, Radojko Avramovic adalah pelatih yang sempat mengalami beberapa kegagalan. Namun, ia tetap dipercaya Federasi Sepak Bola Singapura sampai akhirnya berhasil mempersembahkan tiga Piala AFF.
Ia kemudian membandingkannya dengan kondisi di Indonesia. Menurut Bepe, seorang pelatih tidak dapat mengimplementasikan ilmu serta keinginannya dengan maksimal jika langsung didepak setiap gagal dalam satu turnamen.
Tak cuma itu, terlalu seringnya pergantian pelatih menjadi kendala yang sangat besar bagi para pemain tim nasional.
Baca juga: Ditarget Juara Piala AFF 2020, Luis Milla Tak Berani Jamin
"Setiap pelatih memiliki gaya dan karakter masing-masing. Sebagai contoh pelatih A memiliki gaya dan karakter bermain dengan warna merah, maka dia akan memilih pemain yang sesuai untuk mendukung sistem bermain warna merah."
"Namun, karena dianggap gagal dalam sebuah turnamen oleh PSSI, maka seketika akan diganti dengan pelatih yang baru."
"Pelatih baru, katakanlah si B datang dengan optimisme baru serta gaya dan karakter bermain warna Biru. Maka secara otomatis pelatih tersebut akan mengubah gaya bermain tim nasional, yang tadinya berwarna merah menjadi warna biru, sesuai dengan keinginannya. Di sinilah letak permasalahan yang sesungguhnya."
"Bagaimana sebuah tim dapat meraih hasil maksimal, jika belum juga khatam belajar bermain dengan warna merah, sudah harus dirubah menjadi berwarna biru. Belum lagi ketika dalam turnamen berikutnya, gaya berwain warna biru tersebut dianggap gagal. Maka kemungkinan besar akan datang lagi pelatih baru, yang mungkin membawa warna yang lain ke dalam tim nasional," sebut Bepe.
Bepe mengaku para pemain sebenarnya tertekan dengan seringnya pergantian pelatih timnas yang ia nilai disebabkan cara berpikir egois dari para pengurus PSSI.
Di sisi lain, ia menganggap masyarakat tidak akan mengerti dan peduli dengan hal tersebut. Pasalnya, ia menilai kebanyakan orang Indonesia hanya menginginkan prestasi diraih dengan cara instan.
"Orang Indonesia itu suka sesuatu yang instan, mie-nya instan, budayanya instan, suksespun maunya juga dengan cara yang instan. Hal ini yang menurut saya harus diubah," ucap Bepe.
Ucapan Bepe memang ada benarnya jika mengacu kondisi timnas Indonesia dalam beberapa tahun terakhir.
Baca juga: Indonesia Tersingkir, Bima Sakti Dinilai Emban Posisi Sulit
Milla tak diperpanjang kontraknya oleh PSSI setelah gagal mempersembahkan emas SEA Games 2017 dan hanya mampu sampai babak perempat final Asian Games 2018.
Kondisi paling tak mengenakan bahkan dialami Bima Sakti saat Piala AFF 2018, dan Simon McMenemy selama kualifikasi Piala Dunia 2022 Zona Asia.
Keduanya menjadi korban tagar #out dari warga masyarakat setelah tak mampu memberikan hasil sesuai harapan.
Padahal, McMenemy juga punya prestasi yang lumayan, kendati tak sebaik Milla ataupun Tae-yong.
Pria Skotlandia itu pernah membawa timnas Filipina naik kelas dari tim pesakitan di ASEAN menjadi tim yang menembus semifinal Piala AFF 2010.
Filipina memang bukan negara yang punya kultur sepak bola yang kuat. Pada Piala AFF 2010, timnas Filipina bahkan tak bisa melakoni laga kandang di semifinal karena ketiadaan stadion yang layak.
Namun, di tangan McMenemy, Filipina mampu naik kelas dan kini menjadi salah satu tim yang diperhitungkan di ASEAN.
Di level klub, McMenemy juga sempat mempersembahkan gelar juara Liga 1 2017 untuk Bhayangkara FC.
Baca juga: Liga 1 Bak Sinetron Stripping, Mulai 22 Oktober Sampai Pekan Terakhir
Sebelum dipecat akibat selalu kalah di babak kualifikasi Piala Dunia 2022, Simon McMenemy sempat tak henti-hentinya mengeluhkan jadwal kompetisi Liga 1 yang dinilainya tidak ideal.
Ia sempat mengeluhkan kondisi pemainnya yang tidak dalam kondisi bugar.
"Tanpa mengurangi rasa hormat buat klub Indonesia, kondisi fisik pemain yang datang dari liga tak terlalu bagus," ujar McMenemy dalam sebuah kesempatan.
McMenemy sempat meminta kepada para pemegang kebijakan sepak bola nasional untuk duduk bersama menyelesaikan persoalan tersebut.
Pasalnya, McMenemy pun mengaku tak punya jawaban pasti terkait kondisi fisik jika semua pihak tak menuntaskannya secara bersama.
"Piala Dunia adalah kompetisi terbesar di dunia, jadi pemain hanya punya 60-70 persen kondisi fisik saat membela timnas di ajang itu," kata McMenemy.
"Saya rasa kami harus duduk bersama untuk mengevaluasi ini supaya tidak terjadi lagi," ujar McMenemy melanjutkan.
Baca juga: Suporter Brutal, Jadwal Liga Berantakan, Timnas Babak Belur
Jadwal Kompetisi Tak Ideal
Liga 1 2019 memang sudah usai. Namun, jika boleh melihat kembali ke belakang, kompetisi kasta tertinggi ini digelar dalam kurun waktu yang tidak ideal.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.