Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Hamid Awaludin

Mantan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia dan Duta Besar Indonesia untuk Rusia dan Belarusia.

Mohammad Ahsan/Hendra Setiawan yang Selalu Memberi

Kompas.com - 28/08/2019, 14:17 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Sabtu, 25 Agustus 2019 di Kota Basel, Swiss. Hendra Setiawan, pebulutangkis andalan kita, memperingati hari jadinya yang ke-35.

Tak ada tiupan lilin disertai kue ulang tahun. Tak ada kado buatnya, kendati ia seorang pesohor dunia di bidang bulu tangkis.

Yang ada, justru Hendra memberi kado ulang tahun kepada Republik Indonesia. Bersama pasangannya, Mohammad Ahsan, Hendra Setiawan, mengukuhkan diri sebagai pasangan ganda putra bulu tangkis hebat.

The Daddies, julukan bagi dua ayah muda yang yang masih aktif mengayun raket di
lapangan bulu tangkis, Mohammad Ahsan/Hendra Setiawan, merebut gelar juara dunia nomor ganda putra pada Kejuaraan Dunia Badminton 2019 Minggu (26/8/2019).

Baca juga: Ahsan/Hendra Raih Gelar Kejuaraan Dunia Badminton 2019

Dunia bulu tangkis gemuruh dan berdecak kagum oleh kedigdayaan pasangan ini yang merebut gelar juara untuk ketiga kalinya. Hendra bahkan untuk keempat kalinya karena sekali sempat dengan Markis Kido.

Dunia kagum karena mereka menjadi juara dunia dalam 35 tahun buat Hendra dan 33 tahun untuk Ahsan. Sebuah angka yang terbilang tak muda lagi untuk olahraga seberat badminton.

Mereka seolah mengirim pesan yang jelas kepada siapa pun, "Kami masih ada. Don’t even try and you still can count on us."

Gelar itu mereka rebut di tengah kerumunan pemain muda dengan kecepatan dan tenaga yang sedang di puncak-puncaknya seperti lawan mereka di final, wakil Jepang, Takuro Hoki/Yugo Kobayashi.

Baca juga: Rekap Final Kejuaraan Dunia Badminton 2019, Ahsan/Hendra Juara Dunia

Selain itu, ada junior mereka di pelatnas yang ditaklukkan Hendra/Ahsan, yakni pasangan Fajar Alfian/Muhammad Rian Ardianto.

Fajar/Rian adalah penakluk ganda putra Korea Selatan, Choi Solgyu/Seo Seung Jae, yang sebelumnya menekuk Minion, julukan ganda nomor satu dunia dari Indonesia, Marcus Fernaldi Gideon/Kevin Sanjaya Sukamuljo.

Dengan demikian, gelar pemuncak Ahsan/Hendra benar-benar diraih dalam pendakian menuju puncak piramida yang yang curam dan keras.

Orang kian mengagumi mereka karena mereka sebenarnya sudah pernah berpisah, lalu kembali disatukan dan menyatu.

Malah, Hendra sudah tidak lagi menjadi penghuni Pelatnas Cipayung.

Penyatuan tersebut ternyata membawa berkah. Pada tahun 2019 saja, kedua pasangan ini menjadi juara di All England, runner-up di Indonesia Open dan Japan Open, serta menjadi pemuncak di New Zealand Open.

Baca juga: 5 Fakta Ahsan/Hendra Juara pada Kejuaraan Dunia Badminton 2019

Kini, mereka menjadi juara dunia. Bagai seorang pendekar atau resi yang turun gunung dari pertapaannya lagi, lalu datang menyelesaikan masalah dan memberi ketenangan.

Ahsan/Hendra kembali memberi ketenangan itu...

Menjaga ritme diri

Pada final Kejuaraan Dunia 2019, Ahsan/Hendra melawan pasangan Jepang yang selisih usianya terpaut lebih dari 10 tahun. Kecepatan dan daya dobrak pasangan Jepang bisa diredam oleh The Daddies.

Kuncinya adalah kemampuan Ahsan/Hendra dalam menjaga ritme permainan, sesuai dengan usia yang mereka miliki.

Ahsan/Hendra tidak pernah lepas kontrol, mengikuti arus permainan cepat lawan. Mereka kuasa melakukan rekonsiliasi diri dalam meredam lawan.

Baca juga: Hikmah dari Tersingkirnya Marcus/Kevin pada Babak Awal Kejuaraan Dunia

Kemampuan "tahu" diri inilah yang menjadi kunci keperkasaan Ahsan/Hendra selama ini. Keduanya, bagai berselancar, mencari titik keseimbangan, di atas deru gulungan ombak yang dahsyat.

Mereka mampu menjaga badan, tidak dioleng ke kanan, tidak diempas ke kiri. Mereka sadar dengan usia mereka dan insaf tentang usia lawan-lawan.

Kesadaran itulah yang membuatnya mampu mendikte lawan, bukan tunduk dengan kehendak lawan.

Kemampuan "tahu" diri tersebut dilengkapi dengan kematangan di lapangan. Tak pernah grogi, apalagi menyerah.

Ketenangan ini disempurnakan lagi oleh sikap batin keduanya yang selalu merendah, penuh tawadu.

Dari sinilah, oase jiwa kesatria (chivalry) sebagai atlet, mulai mengalir. Sikap merendah itulah yang membuat mereka tidak pernah menganggap enteng lawan-lawan mereka.

Baca juga: Tiba di Bandara Soekarno-Hatta, Ahsan/Hendra dkk Dapat Sambutan Hangat

Sikap merendah itulah yang memungkinkan mereka selalu tenang. Tidak dililit oleh kegelisahan, dan tak diiimpit oleh rasa superior yang acap kali menyesakkan.

Semua orang tahu, Hendra dan Ahsan, baik dalam lapangan pertandingan, maupun di luar, adalah simbol pribadi yang selalu merendah. Tak pernah silau oleh gemerlapnya popularitas.

Tak pernah terayun oleh pujian. Mereka berdua selalu down to earth.

Sikap batin yang begitu paripurna, dilengkapi oleh tingkat kedisiplinan dalam menjaga ritme badan.

Keduanya adalah pemain yang sangat disiplin dalam menjalankan latihan. Tidak pernah merepotkan pelatih ataupun asisten pelatih.

Baca juga: Ketika Ahsan/Hendra dkk Diundang Makan Malam oleh Duta Besar

Mereka selalu tunduk dengan aturan main dan pola latihan yang disiapkan. Mereka bukan tipe pemain yang tiba masa hilang akal.

Semuanya dilalui dengan kelapangan dada. Tak pernah beriak. Tak pernah mogok, apalagi mengancam.

Sebagai pemain dengan rentang pengalaman yang begitu panjang, teknik permainan Hendra/Ahsan, tak perlu lagi diragukan.

Teknik menghentikan laju bola secara dadakan, Hendra adalah "dewa".

Pers dunia menjulukinya sebagai "The Silent Killer". Sementara gelegar smes Ahsan dari belakang hingga kini masih terbilang the best and the hardest one.

Di atas segalanya, kedigdayaan Ahsan/Hendra dalam dunia tepuk bulu adalah kompas bagi para atlet lainnya. Mereka tidak pernah menyerah walau tergerogoti usia.

Saya pun teringat film termasyhur di Tanah Air, Laskar Pelangi.Tatkala SD Muhammadiyah Gantong sudah lapuk dimakan usia, murid tinggal 10 orang.

Baca juga: Harapan Ahsan/Hendra dan Susy Susanti soal Pemindahan Ibu Kota

Pak Arfan (Ikranegara), sang kepala sekolah yang sedang memperbaiki kursi-kursi muridnya yang telah patah dan reot, didatangi oleh donatur alakadarnya, Pak Zulkarnaen (Slamet Raharjo). 

"Sudahlah Arfan, sekolahmu ini tutup saja. Sudah tua dan orang tidak berminat lagi," kata Pak Zul.

"Sekolah ini harus dijaga terus, bukan ditutup, meski sudah tua. Sekolah ini selalu memberi, bukan selalu menerima," kata Pak Irfan.

Dalam usia yang tak muda lagi, Hendra/Ahsan masih saja selalu memberi. Mereka memberi arti dan harga diri buat bangsa ini.

Selamat dan terima kasih, The Daddies...

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com