Entah apa yang diinstruksikan pelatih Barcelona, Ernesto Valverde, dan bos Ajax, Erik Ten Hag, penampilan kedua tim setelah turun minum hanya bayang-bayang dari apa yang mereka lakukan selama satu setengah pertandingan sebelumnya.
Baca Juga: Liverpool vs Tottenham - Partai Langka di Final Liga Champions
Secara kolektif, Ajax dan Barcelona hanya mencatatkan tiga tembakan tepat sasaran pada babak kedua laga mereka.
Para murid Cruyff di Amsterdam kebobolan dua gol dari tembakan kaki kiri Lucas Moura pada menit ke-55 dan ke-59, sedangkan Barcelona dari kaki kanan dan kepala Georginio Wijnaldum pada menit ke-54 dan ke-56.
Piston penggerak di ruang mesin Ajax, Frenkie De Jong, tak berdaya digilas lapangan tengah Spurs.
Pada babak pertama, pemain berusia 21 tahun itu mengoleksi lima tackling sukses dari lima percobaan, lima ball recovery, intersep satu kali, dan memenangi duel udara dua kali.
Sementara itu, pada babak kedua, De Jong gagal mencatatkan tackling sukses sekali pun dari tiga percobannya. Ia juga selalu kalah dalam duel udara sebanyak tiga kali dan tanpa sekali pun intersep.
Pelatih Ten Hag tiga kali memasukkan bek pada babak kedua. Sementara, pelatih Barca, Ernesto Valverde, mencoba mengulang pergantian sama dengan leg pertama, memasukkan bek kanan Nelson Semedo untuk Philippe Coutinho.
Baca Juga: Ajax vs Tottenham - Dua Pemain Buka Puasa di Tengah Pertandingan
Beribu sayang, usaha mereka tanpa hasil. Siratan takdir mengharuskan kedua tim tumbang berkat gol penentu nan dramatis dari pemain nomor 27 lawan-lawan mereka, Divock Origi (Liverpool) serta Lucas Moura (Tottenham).
Ajax gagal menjadi klub asal Belanda pertama yang melenggang ke final Liga Champions sejak mereka kalah dari Juventus pada final 1996.
Mereka kalah dari tembakan Lucas Moura pada menit kelima injury time.
Pertahanan Ajax yang digalang kapten muda Matthijs de Ligt dibuka tidak lewat skema penyerangan rumit lawan, tetapi lewat route one football (bola jauh ke depan) yang menjadi gaya khas sepak bola Inggris.
"Hasil ini bukan tactical, hanya murni dari hati. Tak ada formasi. Terkadang sepak bola bisa seperti ini. Hal-hal dasar - bermain dari hati, emosi, dan gairah, berlari lebih jauh dari lawan Anda - akan selalu mengalahkan taktik," tutur Darren Fletcher, mantan gelandang Manchester United, kepada BBC.
Baca juga: Jadwal Final Liga Champions 2019, Tottenham Vs Liverpool pada 1 Juni
Jika gol penentu Tottenham datang dari hati, gol pamungkas Liverpool datang dari kepala.
Kecerdikan Trent Alexander-Arnold mengeksploitasi kelengahan para pemain Barcelona dari situasi sepak pojok berbuah assist bagi gol keempat dan penentu dari Divock Origi.
"Gol keempat menggambarkan Barcelona: secara mental dan fisik, mereka lamban dan rentan kesalahan. Barcelona tak bisa mengimbangi kecepatan pemikiran dan kaki-kaki pemain Liverpool," tutur Andy West, pandit sepak bola Spanyol.
"Barcelona inferior, takut, dan tak dapat menemukan jawaban," tulis Guillem Balague, pandit siaran Liga Spanyol di Sky Sports.
Kesalahan manajemen pertandingan dari Barcelona juga menjadi sorotan mantan striker timnas Inggris dan top scorer sepanjang sejarah Premier League, Alan Shearer.
"Mereka mempertahankan tempo cepat, berulang kali langsung memulai laga dari bola mati. Barcelona terus bermain kencang. Hal itu menjadi makanan empuk bagi Liverpool," tutur Shearer.
Begitu dekat, tetapi begitu jauh. Pada akhirnya, anak-anak didik penganut ajaran Johan Cruyff harus merelakan gelar Liga Champions musim ini.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.