JAKARTA, KOMPAS.com - Suporter punya peranan vital dalam sepak bola. Dari suporter-lah sebuah klub profesional biasanya menggantungkan hidup.
Klub yang punya basis suporter yang banyak biasanya berkorelasi dengan kemampuan finansial klub tersebut.
Hal itulah yang sudah dilakukan klub-klub di Eropa sejak lama. Di Benua Biru, klub-klub bisa mengelola dengan baik suporternya. Mereka bisa mandiri tanpa menggantungkan diri dari uang negara.
Baca juga: Kisah Klub yang Paling Dibenci di Liga Jerman...
Sayangnya, hal yang sama belum sepenuhnya terjadi di Indonesia, setidaknya pada era 90-an hingga awal 2000-an.
Ketika itu, kita masih bisa melihat klub-klub tanpa rasa malu menggunakan uang anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD) di wilayah tempatnya bernaung.
Belum ada sama sekali pikiran untuk menjadi mandiri, walau beberapa klub punya basis suporter yang besar.
Era Piala Presiden
Pada tahun 2015, pemerintahan Presiden Joko Widodo menginisiasi penyelenggaraan sebuah turnamen sepak bola yang diberi nama Piala Presiden.
Dilatarbelakangi tak adanya kompetisi resmi akibat sanksi FIFA, Piala Presiden mengusung semangat perbaikan dari sejumah masalah sepak bola nasional, dari yang menyangkut teknis permainan hingga masalah keuangan.
Khusus yang kedua, sejak edisi 2018, penyelenggara Piala Presiden bahkan bisa membuktikan turnamen bisa berlangsung tanpa bergantung pada uang negara.
Pada Piala Presiden 2019, penyelenggara mengumumkan ada total dana yang bila dihitung mencapai Rp 78 miliar dari sejumlah sponsor.
"Kita buktikan sepak bola Indonesia bisa hidup tanpa pengaturan skor, tanpa mafia bola, hingga sponsor berbondong-bondong mensponsori Piala Presiden. Ini adalah langkah maju untuk sepak bola Indonesia," kata Ketua Steering Committee Piala Presiden 2019, Maruarar Sirait usai laga final leg kedua, di Stadion Kanjuruhan, Malang, Jumat (12/4/2019).
Dengan mengusung semangat transparansi, Ara - sapaan Maruarar - bahkan menyebutkan satu per satu pihak sponsor beserta besaran dananya.
Berikut rinciannya:
- Emtek Group: Rp 40 miliar
- Bukalapak: Rp 11 miliar
- Luwak White Coffe: Rp 6 miliar
- Le Mineral: Rp 5 miliar
- Kukubima: Rp 5 miliar
- Indofood: Rp 5 miliar
- PT Cakra Motorsport Ducati Indonesia: Rp 2 miliar
- Mayoris Asset Management: Rp 1,5 miliar
- Asuransi Cakrawala Proteksi Indonesia: Rp 1,5 miliar
- Bank Mayapada: Rp 1 miliar