JAKARTA, KOMPAS.com – Fanatisme pendukung sepak bola yang melahirkan kebencian terhadap pendukung klub lain kembali menimbulkan korban jiwa.
Kali ini terjadi pada Haringga Sirla (23), suporter klub Persija Jakarta yang tewas dikeroyok menjelang pertandingan klub kesayangannya melawan Persib Bandung di Gelora Bandung Lautan Api, Bandung, Jawa Barat pada Minggu (23/9/2018).
Kejadian ini sontak menyita perhatian dan mengundang keprihatinan berbagai pihak. Bukan hanya sesama pendukung Persija Jakarta yang berduka, tetapi juga masyarakat Indonesia.
Banyak pihak yang menyayangkan mengapa dunia persepakbolaan Indonesia masih saja dikotori oleh ulah suporter yang brutal dan biadab.
Sepak bola yang seharusnya menjadi ajang pertandingan yang menghibur dan mengajarkan sportivitas, justru menjadi ajang kekerasan bahkan pembunuhan oleh sejumlah oknum penontonnya.
Baca juga: Jejak Rivalitas Sepak Bola Indonesia di Mata Suporter
Menurut pengamat olahraga, Rayana Djakasurya, persepakbolaan di Indonesia tak ubahnya sebuah industri yang hanya berorientasi pada uang semata. Sepak bola sebagai olahraga yang menjunjung nilai sportivitas dan kemanusiaan kini sulit ditemui.
"Dalam pertandingan sepak bola, yang pertama masuk ke stadion adalah penegak hakim garis, wasit. Kedua, dia membawa anak-anak kecil, dipegang. Itu lambang, sepak bola adalah permainan yang diatur dan akan diturunkan kepada generasi di bawahnya," ujar Rayana saat dihubungi Kompas.com Senin (24/9/2018) malam.
Ia mencontohkan sepak bola di luar negeri, walaupun tanpa penonton, pertandingan dapat tetap berjalan. Sementara di Indonesia, keberadaan penonton menjadi sesuatu yang dipandang sangat penting karena bernilai ekonomi.
Rayana pun menyesalkan orientasi ekonomi itu menyebabkan dunia sepak bola di Indonesia sulit sekali mengatur perilaku suporter. Misalnya, menurut dia, saat insiden di Malang, pelatih Persib terkena lemparan hingga kepalanya berdarah-darah. Namun tidak ada tindakan tegas dari PSSI.
"Mestinya Komisi Disiplin dari PSSI melakukan tindakan atau menyetop tidak boleh dua kali pertandingan, tidak bermain atau di tempat netral di mana, itu harus dilakukan," ucap Rayana.
"Ini asal uang karena uang persib penontonnya banyak. Kesannya di sini ini industri yang dikejar uangnya, di negara orang mah lain," ujar pria yang dikenal sebagai pengamat Liga Italia Seria A di layar kaca pada periode '90-an ini.
Baca juga: Orang Tua Suporter Persija yang Tewas Berharap Tak Ada Korban Lagi
Tidak hanya faktor penyelenggaraan, Rayana juga menyoroti perihal keamanan. Menurut dia, aparat keamanan yang bertugas mengamankan jalannya pertandingan tidak memiliki rasio perhitungan yang matang tentang jumlah penonton yang akan datang ke stadion.
Ini menyebabkan perbandingan aparat dengan penonton yang harus diamankan tidak dapat diketahui dengan pasti.
Pertandingan sepak bola di Indonesia pun belum bisa dikatakan aman untuk disaksikan oleh semua kalangan. Kondisi ini jelas berbeda dengan sepak bola yang ada di luar negeri, meski suporternya juga memiliki fanatisme terhadap klub.
"Coba saja, mereka bisa bawa anak kecil, bawa anak muda, ada perempuan, orang di kursi roda, mereka bisa," kata Bung Ray.
"Kalau di sana, pengamanan menyadari bahwa kalau ada tontonan yang dianggapnya rawan terjadi suatu masalah, mereka mengamankan pertandingan dengan dua kali pengamanan," ujar dia.
Rayana mencontohkan sistem keamanan yang diterapkan Italia saat menjamu Inggris di sebuah laga internasional.
Petugas keamanan dari Italia mengadakan pertukaran informasi dengan kepolisian Inggris untuk mengetahui kultur pendukung sepak bola yang dikenal dengan sebutan hooligans itu.
Setelah mengetahui kebudayaan penonton Inggris yang gemar mabuk-mabukan, pihak Italia kemudian menyesuaikan diri dengan menerapkan kebijakan sesuai kondisi tertentu.
"Jadi apa yang dijaga di sana, melihat budaya suporter ini suka minum-minum, itu diberhentikan bar-bar atau restoran-restoran menjual minuman-minuman yang alkoholnya di atas persentase tertentu. Jadi tidak ada minuman keras," kata Rayana.
Penonton Inggris dipersilahkan datang ke Italia untuk menyaksikan pertandingan, karena ini adalah perhelatan internasional. Akan tetapi, mereka akan datang dalam keadaan sadar, tanpa pengaruh alkohol.
Di dalam negeri, Raya menuturkan, sepak bola masih cenderung menggunakan permainan fisik yang keras.
Permainan di lapangan yang seperti itu tentu akan meningkatkan adrenalin penonton yang terkenal memiliki fanatisme tinggi terhadap klubnya.
"Di sini lihat pemain gaprek-gaprekan (bermain keras), di situ sudah bangkit suporter, loncat untuk apa segala. Itu memacu juga adrenalin dari para suporter. Belum lagi kalau ada yel-yel yang provokatif," dia mencontohkan.
Baca juga: Orang Tua Suporter Persija yang Tewas Berharap Tak Ada Korban Lagi
Dia menilai, peristiwa kelam kemarin berakar pada sebuah rivalitas yang diwarnai dendam setelah muncul korban tewas.
Perseteruan ini berawal pada tewasnya tiga orang pendukung Persib Bandung, yang dikenal dengan sebutan Viking di Gelora Bung Karno, Jakarta pada 2012 silam.
Saat itu, tiga pendukung Persib Bandung yang tewas adalah Rangga Cipta Nugraha (22), Lazuardi (29), dan Dani Maulana (17).
Baz menyesali hadirnya dendam di antara pendukung Persija dan Persib Jakarta, apalagi kembali menghadirkan korban tewas.
Menurut dia, rivalitas klub dan suporter bisa saja tetap ada, namun tanpa harus disertai kekerasan, apalagi pembunuhan.
"Boleh saja bersaing, tetapi jangan sampai bentrok fisik. Artinya ya mereka itu sampai kapan pun akan tetap fanatik. Cuma fanatik itu beda dengan gila," ujar Baz.