KOMPAS.com - Jagad sepak bola Tanah Air sedang dilanda "demam" marquee player. Keberhasilan Persib Bandung menggaet Michael Essien pada pertengahan Maret 2017 membuat sebutan marquee player semakin populer, bahkan sampai merevisi draf regulasi Liga 1.
Ya, sebelum Essien resmi bergabung dengan Persib, usulan regulasi Liga 1 soal pemain asing adalah 2+1. Artinya, setiap klub berhak membeli tiga pemain asing dengan rincian dua non-Asia dan satu pemain Asia.
Baca: PSSI Tetapkan Aturan Baru untuk Komposisi Pemain Asing
Namun setelah pemain asal Ghana tersebut diperkenalkan, aturan direvisi menjadi 2+1+1 demi pemain berstatus marquee player. Sebab, arti dari revisi tersebut adalah setiap klub boleh mengontrak dua pemain asing non-Asia plus satu pemain Asia ditambah satu marquee player.
Ketua Umum PSSI Letnan Jenderal TNI Edy Rahmayadi yang mengungkapkan hal tersebut dalam pertemuan dengan perwakilan 18 klub peserta Liga 1 di Markas Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat (Makostrad), Jakarta, Kamis (16/3/2017).
Baca: Aturan Liga 1 Perbolehkan Klub Rekrut "Marquee Player”
Menurut Edy, setiap klub bisa memiliki empat pemain asing kalau mampu mendatangkan marquee player. Apabila tak mampu, maka setiap klub hanya boleh mengontrak maksimal tiga pemain asing dengan komposisi dua non-Asia plus satu pemain Asia.
Apa itu marquee player?
Berdasarkan literatur, marquee player adalah seorang atlet yang dianggap sangat populer, terampil atau luar biasa dalam olahraga profesional. Meskipun demikian, beberapa liga memiliki definisi dan aturan yang berbeda soal marquee player, termasuk mengenai batasan gaji.
Penerapan marquee player mulai populer ketika David Beckham pindah dari Real Madrid ke LA Galaxy pada 2007. Kedatangan bintang asal Inggris yang namanya mulai tenar sebagai gelandang kanan Manchester United tersebut membuat Major League Soccer (MLS) terkenal. Sepak bola pun makin populer di Amerika Serikat.
Setelah itu, India Super League (ISL) pun melakukan terobosan. Untuk membuat sepak bola populer di negaranya, sejumlah delapan klub yang berpartisipasi dalam ISL diizinkan mengontrak marquee player.
Luis Garcia menjadi rekrutan pertama. Mantan pemain Liverpool dan bintang timnas Spanyol itu dikontrak Atletico de Kolkata pada Juli 2014.
Kemudian, datang Alessandro del Piero (Delhi Dynamos), Robert Pires (Goa), Fredrik Ljungberg (Mumbai City), David Trezeguet (Pune City), Roberto Carlos (Delhi Dynamos), Nicolas Anelka (Mumbai City), Adrian Mutu (Pune City) dan beberapa pemain lain, termasuk Diego Forlan (Mumbai City).
Nah, untuk di Liga 1 yang rencananya mulai bergulir 15 April 2017 ini, pemain yang masuk kategori marquee player adalah yang pernah bermain untuk tim nasional negaranya dalam tiga edisi terakhir Piala Dunia (Piala Dunia 2006, 2010 dan 2014). Atau, pemain tersebut pernah bermain di liga top Eropa dalam kurun waktu delapan tahun terakhir.
Meskipun demikian, marquee player untuk Liga 1 ini memiliki batasan umur. Syarat yang ditetapkan oleh PSSI adalah, umur sang marquee player harus berusia maksimal 35 tahun.
Dengan demikian, para marquee player yang sudah berlabuh di klub Liga 1 memenuhi syarat tersebut. Persib memiliki dua merquee player dalam diri Essien serta Carlton Cole, kemudian di Madura United ada Peter Odemwingie, di Borneo FC ada Shane Smeltz, di PSM Makassar ada Wiljan Pluim dan Steven Paulle serta Sylvano Comvalius di Bali United.
Essien, 35, pernah bermain dalam dua edisi Piala Dunia, yakni 2006 dan 2014 serta pernah merasakan atmosfer Premier League (Chelsea/2005-2014), La Liga (Real Madrid/2012-2013) dan Serie A (AC Milan/2014-2015).
Cole, 33, juga sempat bermain di Premier League (Chelsea/2001-2006, West Ham United/2006-2015). Smeltz, 35, adalah pemain internasional Selandia Baru, yang mencetak satu gol ke gawang Italia pada Piala Dunia 2010.
Odemwingie, 35, adalah mantan pemain Lille (2004-2007). Pemain berdarah Nigeria ini juga sempat bermain di Premier League bersama West Bromwich Albion (2010-2013), Cardiff City (2013-2014) dan Stoke City (2014-2016).
Pluim, 28, pernah bermain di Eredivisie bersama Vitesse Arnhem (2008-2011) dan Roda JC (2011-2015). Paulle, 31, asal Perancis, bermain untuk klub Ligue 1, Cannes (2005-2010) dan Dijon (2010-2017), sedangkan Comvalius, 29, sempat bermain di Bundesliga bersama Dynamo Dresden (2014-2015).
Roger Milla dan Mario Kempes
Mari kita coba memutar waktu perjalanan sepak bola di Tanah Air. Sebenarnya, perekrutan pemain dengan label bintang dunia sudah pernah dilakukan pada era 1990-an, tepatnya pada 1994, ketika sepak bola semiprofesional atau galatama dan kejuaraan nasional perserikatan yang bersifat amatir, "dikawinkan" sehingga menghasilkan Liga Indonesia.
Kala itu, Pelita Jaya yang termasuk klub elite, mendatangkan Roger Milla dan Mario Kempes. Roger Milla, yang kini berusia 64 tahun, adalah pemain veteran Kamerun yang membela negaranya pada Piala Dunia 1990 dan 1994. Dia bergabung dengan Pelita Jaya (1994-1995) saat berusia 42 tahun, sebelum pindah ke Putra Samarinda (1995-1996).
Baca: Penolakan Sempat Warnai Kehadiran Pemain Asing di Indonesia
Selain Roger Milla, Pelita Jaya juga pernah mengontrak Mario Kempes, yang membela Argentina pada Piala Dunia 1974, 1978 dan 1982. Pria yang kini berusia 62 tahun tersebut bahkan ikut mengangkat trofi Piala Dunia 1978.
Jika merujuk istilah marquee player dan regulasi yang ditetapkan PSSI saat ini, Roger Milla dan Mario Kempes memenuhi syarat meskipun umur sudah tua. Mereka bisa menyedot animo penonton sehingga stadion terisi penuh.
Setidaknya, hal itu terjadi saat Pelita Jaya tandang ke Stadion Mandala Krida, Yogyakarta, untuk bertemu Mataram Putra pada Liga Indonesia 1994. Stadion berkapasitas 20.000 tersebut nyaris tak bisa menampung penonton yang ingin menyaksikan aksi Roger Milla. Sejumlah penonton bahkan nekat naik ke tiang lampu.
Roger Milla menarik perhatian setelah tampil memukau pada Piala Dunia 1990. Dia mengawali kiprahnya pada panggung event empat tahunan itu dengan menggelontorkan empat gol ke gawang Italia, disertai selebrasinya yang khas yakni goyangan perut di tiang bendera sepak pojok.
Kemudian pada Piala Dunia 1994, Roger Milla menjadi pemain tertua (42 tahun) yang pernah bermain dalam ajang tersebut--sebelum dipecahkan oleh Faryd Mondragon ketika membela Kolombia melawan Jepang pada Piala Dunia 2014 (43 tahun 3 hari). Dia juga mencetak gol saat melawan Rusia, yang membuatnya sebagai goalscorer tertua di Piala Dunia.
Pedang bermata dua
Tentu ada alasan yang kuat bagi PSSI ketika mengizinkan klub menggunakan marquee player. Kehadiran para pemain bintang tersebut diharapkan bisa meningkatkan gairah sepak bola di Tanah Air, yang tentunya bermuara pada peningkatan kualitas tontotan, termasuk memberi efek positif kepada pemain lokal.
Idealnya memang demikian. Marquee player harus bisa memberikan dampak seperti yang diharapkan untuk perkembangan sepak bola di dalam negeri, sehingga dana fantastis yang dikeluarkan untuk ukuran klub di Tanah Air, tidak sia-sia.
Namun klub harus jeli dan hati-hati ketika memilih marquee player karena tak selamanya mereka bisa memenuhi ekspektasi. Selain karena level permainan yang timpang, hal lain yang harus diantisipasi adalah marquee player justru bisa menjadi perusak keharmonisan tim lantaran adanya ketimpangan gaji tetapi tidak sebanding dengan kontribusinya.
Pelatih Bhayangkara FC, Simon McMenemy, sudah memiliki pengalaman itu ketika masih melatih Mitra Kukar. Pada tahun 2012, mereka mengontrak mantan pemain Crystal Palace dan Blackburn Rovers, Marcus Bent. Hasilnya? Sangat mengecewakan!
"Di sini, suporter ingin pemain bintang dan marquee player harus menjadi pilar yang bisa mengubah tim jadi lebih baik. Jika pemain itu gagal, suporter menekan dan itu tak bagus.
"Padahal, itu sebenarnya bukan salah pemain berstatus marquee player tetapi semua terkait level permainan dan kesepahaman dalam menjalankan tugas di lapangan," ujar Simon seperti dikutip dari Juara.net.
Baca: Cerita Pemain Asing di Indonesia, dari Kisah Pilu hingga Rapor Merah
"Level permainan Marcus Bent jauh di atas pemain Indonesia, dia gagal maksimal. Artinya, pemahaman permainan sepak bola di negeri ini dan Premier League, misalnya, jauh. Itu akan jadi masalah. Berdasarkan pengalaman itu, saya tidak butuh marquee player di Bhayangkara FC," tambah Simon.
Lain lagi komentar manajer umum Arema FC, Ruddy Widodo. Dia menyorot kebijakan marquee player yang menurutnya bisa menjadi duri dalam daging, sehingga Arema tidak gegabah mengimplementasikannya.
"Kalau memang keuntungan yang didapat dari keberadaan marquee player bakal maksimal, kami akan ambil. Tetapi kalau malah justru nanti menjadi duri dalam daging, lebih baik tidak," ujarnya.
"Arema akan mempertimbangkan dengan cermat dan saksama tentang kehadiran marquee player. Tentunya hal ini tidak sekadar untuk membuat ramai dan menjadikan klub terkenal. Kalau untuk popularitas, Arema sudah terkenal."
Memang, kehadiran marquee player seperti pedang bermata dua. Di satu sisi, dia bisa membuat klub menjadi daya tarik yang luar biasa sehingga bisa menguntungkan, baik secara finansial maupun prestasi.
Namun jika sebaliknya, marquee player akan membunuh klub, terutama soal keuangan. Sebab, marquee player tidak terkena aturan salary cup yang digariskan PSSI dan PT Liga Indonesia Baru (LIB) selaku operator Liga 1.
Untuk kompetisi resmi, PSSI-PT LIB memberlakukan pembatasan nilai kontrak pemain atau salary cap yakni batas bawah sebesar Rp 5 miliar dan batas atas Rp 15 miliar. Klub boleh melewati batas maksimal itu asalkan ada hitungan kontrak marquee player.
Jadi, perlu pemikiran yang sangat matang bagi klub jika ingin menggaet marquee player. Jangan sampai dampak negatifnya jauh lebih besar dari keuntungan yang didapat.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.