Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Jalu W. Wirajati

Seseorang yang awalnya mengaku paham sepak bola, tetapi kemudian merasa kerdil ketika sudah menjadi wartawan bal-balan per April 2004. Seseorang yang suka olahraga, khususnya, sepak bola, tetapi menikmatinya dari tepi lapangan.

Drama (William) Shakespeare di Leicester City

Kompas.com - 20/03/2017, 07:02 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini
EditorHeru Margianto

Melihat performa yang berbanding terbalik itu, wajar apabila ada dugaan bahwa sebenarnya ada "permainan" dalam tubuh tim yang berkonspirasi untuk melengserkan Ranieri.

"Ya," jawab sejumlah pemain ketika ditanya The Telegraph soal apakah ada persoalan di kamar ganti pemain Leicester, awal Februari lalu.

Akan tetapi, Shakespeare membantah bahwa ada konspirasi. Dia bahkan mengakui telah berbicara dengan Ranieri seusai pemecatan dan sama-sama mengucapkan terima kasih.

"Saya berbicara dengannya semalam dan dia mengucapkan terima kasih. Ada rasa frustrasi dari hasil buruk, tetapi dia tetap mendapat kepercayaan para pemain," tutur Shakespeare, sehari setelah pemecatan Ranieri.

Vice Chairman, Aiyawatt Srivaddhanaprabha, juga mengaku bahwa memecat Ranieri adalah putusan menyakitkan. Namun, hal itu dilakukan manajemen demi hasil terbaik bagi klub.

"Ketika mempertahankan dia lalu kami terdegradasi, penyesalan akan datang terlambat. Kami telah memutuskan dan kini bisa mengoleksi enam poin. Saya rasa, (putusan) itu amat berharga," ujar dia, Selasa (14/3/2017).

Hanya, dalam kesempatan yang sama, anak dari Vichai Srivaddhanaprabh itu menggambarkan bahwa para pemain punya "andil" dalam pemecatan Ranieri karena telah bosan dengan taktiknya.

"Metode baru dia saat mengubah taktik demi memperbaiki performa tim tidak berjalan baik. Pemain tidak mengerti dan butuh waktu untuk beradaptasi. Hasil yang diraih tidak sesuai dengan keinginan publik. Bagaimanapun, hasil adalah tolok ukur di sepak bola," tuturnya.

Sejumlah pemain memang tak menyuarakan secara tegas perihal ketidaksukaannya pada taktik Ranieri. Hanya, ucapan Drinkwater jelang laga kedua melawan Sevilla soal penempatan Mahrez sebagai pemain sayap kanan oleh Shakespeare seolah mengkritik taktik Ranieri pada pertemuan pertama.

"Semua orang tahu kemampuan dia. Akan lebih baik bagi kami apabila dia bisa menguasai bola lebih lama," ujar dia kepada The Guardian.

"Love me or hate me, both are in my favor... If you love me, I'll always be in your heart... If you hate me, I'll always in your mind" - William Shakespeare 

Ranieri memang telah pergi. Leicester City kini memasuki era baru di bawah asuhan Shakespeare.

"Respek kepada dia, orang besar yang telah membuat sejarah di klub ini. Klub kini telah memecat dia. Putusan itu harus kami hormati dan terus melangkah maju," tutur Mahrez.

Shakespeare telah memulai era baru Leicester dengan amat baik. Dia bahkan telah membukukan rekor personal.

Dia menjadi manajer pertama para era Premier League yang bisa membawa timnya meraih tiga kemenangan beruntun plus selalu mencetak tiga gol dalam tiap pertandingan.

Catatan positif itu tak lepas dari usaha Shakespeare mengembalikan Leicester ke permainan aslinya dengan memakai formasi 4-4-2 dengan Mahrez sebagai penguasa di sisi kanan.

"Kami berhasil meraih kemenangan berkat kerja keras, komitmen, dan usaha tanpa henti dari para pemain. Kerja keras merupakan puncak dari kesuksesan dan kami terus berupaya melakukannya," ujar Shakespeare seusai laga melawan West Ham.

Kerja keras dari Mahrez dkk pun berujung pada keberhasilan melangkah ke babak perempat final dalam debutnya di Liga Champions. Mereka menjadi tumpuan harapan Inggris di kompetisi antarklub terelite Eropa itu.

Shakespeare pun mendapatkan berkah dengan dipermanenkan sebagai manajer hingga akhir musim. Apakah dia akan dipertahankan andai Leicester tak terdegradasi dan bisa finis di posisi yang lebih baik? Tidak seorang pun tahu.

Kisah pilu Ranieri yang harus kehilangan mimpinya di Leicester bisa menjadi tolok ukur. Jika manajer paling sukses di klub saja bisa tersisih, apalagi Shakespeare? Kecuali Leicester bisa meraih trofi Liga Champions, masa depan Shakespeare masih tanda tanya.

Terlebih lagi, cap "pengkhianat" tidak bisa benar-benar lepas dari Shakespeare. Seperti halnya karya William Shakespeare, bukan tak mungkin, ada "Brutus-Brutus" lain yang tak suka dengan cara kerja Craig Shakespeare dan memaksanya pergi dari Stadion King Power.

"We know what we are, but not what we may be."- Hamlet

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com