Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 01/06/2015, 12:04 WIB
KOMPAS.com — Di Indonesia, sepak bola adalah fiesta. Di sanalah, sepak bola bisa bertranformasi menjadi alat perjuangan, hiburan, kisah indah, hingga mata pencarian. Betapa murungnya Indonesia jika tidak ada sepak bola. 

Melalui sepak bola, anak-anak, orangtua, teman, saudara, hingga kakek dan nenek bisa berkumpul sembari menyatukan dukungan. Janganlah lupa pula, sepak bola itu harus bisa membuat kegembiraan. Kegembiraan yang menjadikan sepak bola sebagai perayaan di atas segala-galanya.

Namun, kini Indonesia terasa sepi karena kegembiraan itu tak kunjung datang. Bertahun-tahun sepak bola menghilang, mengembara entah ke mana, lantaran timnas terus menuai kegagalan. Jangankan meraih prestasi, berbagai persoalan internal PSSI saja tak pernah serius diatasi.

Beberapa bulan lalu, masyarakat sempat menyaksikan sepak bola Indonesia kembali mendunia. Akan tetapi, bukan karena titel juara, melainkan ulah pemain adu jotos di lapangan, suporter yang bertikai hingga memakan korban jiwa, serta mafia yang mampu mengatur skor pertandingan dengan leluasa.

Ketika menyaksikan Evan Dimas dan kawan-kawan mengenakan seragam tim nasional U-19, masyarakat memang sempat merasakan kegembiraan luar biasa. Namun, kegembiraan itu hanya berlangsung singkat karena mereka pun gagal total di Piala Asia U-19 Myanmar pada tahun lalu.

Sekali lagi, sejatinya, tidak logis jika pemain dan pelatih disalahkan jika timnas menuai kegagalan. Para pengurus serta pemangku kepentinganlah yang harus diminta pertanggungjawaban karena mereka dihadapkan fakta telah gagal membina sepak bola Indonesia selama rentang puluhan tahun.

Sanksi FIFA
Atas berbagai karut-marut sepak bola yang tak kunjung usai, Federasi Sepak Bola Dunia (FIFA) resmi menjatuhkan sanksi terhadap PSSI, Sabtu (30/5/2015). Akibat putusan itu, Indonesia dilarang mengikuti turnamen internasional FIFA maupun AFC hingga waktu yang tidak ditentukan.

Sekretaris Jenderal FIFA Jerome Valcke, dalam suratnya kepada PSSI, mengatakan, pihaknya baru akan mencabut sanksi dan memulihkan keanggotaan apabila Indonesia memenuhi empat syarat. Inti dari syarat itu adalah PSSI kembali diberi wewenang mengelola urusannya secara independen.

Namun, rasanya syarat itu bakal kembali mengulang pertanyaan membosankan. Apakah independensi PSSI mengelola kompetisi sepak bola Tanah Air hingga saat ini sudah berjalan dengan baik? Apakah independensi mereka juga bisa membuat ratusan juta masyarakat Indonesia bersukacita menyaksikan timnas berpesta di podium kemenangan?

Maklum, semenjak puluhan tahun lalu, apa yang terdengar dari sepak bola Indonesia hanyalah kekacauan, kebingungan, ketidakpastian, intrik, dan rivalitas bersambung-sambungan. Anehnya, para pengurus yang terlibat pada periode itu hingga kini masih "sakti" duduk di kursi petinggi, berjalan bebas seakan merasa tak terjadi hal yang mengkhawatirkan.

Semenjak emas SEA Games Manila 1991, pemerintahan telah berganti lima kali. Posisi pelatih timnas pun dibongkar pasang puluhan kali, mulai yang berasal dari Jawa, Sumatera, hingga luar negeri. Pengurus PSSI? Boro-boro undur diri, timnas gagal puluhan kali mereka tetap asyik sibuk mengamankan jatah kursi.

Belum lagi melihat kinerja asosiasi provinsi PSSI yang selama ini dinilai kerap abai menjalankan tugasnya di daerah. Padahal, salah satu titik krusial pembinaan sepak bola adalah membentuk sistem kompetisi yang baik di level amatir. Oleh karena itulah, jangan dulu bicara prestasi jika para pengurus sepak bola di negeri ini tak tersentuh arus reformasi.

Reformasi
Pertanyaannya kini, siapa yang mampu menghentikan aksi para pengurus itu merajut serial panjang kegagalan? Sejarah mencatat, setiap kali ada momen perubahan di dalam sepak bola Indonesia, justru muncul konflik balas dendam yang tak jelas arahnya. Di sinilah masalah utama pembenahan sepak bola nasional.

Filsuf asal Amerika Serikat, George Santayana, mengatakan, "Mereka yang mengabaikan sejarah akan dikutuk untuk mengulanginya." Pernyataan itu pun rasanya pantas disematkan untuk para pengurus sepak bola di negeri ini. Pengurus yang sejak puluhan tahun lalu lebih menyerupai politisi ketimbang pamong olahraga sejati.

Presiden Joko Widodo di Jakarta, Sabtu (30/5/2015), menginginkan pembenahan total PSSI untuk memperbaiki prestasi sepak bola Indonesia. Presiden sadar bahwa tidak ada yang perlu dibanggakan jika timnas Indonesia selalu mengalami kegagalan di berbagai turnamen internasional.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com