Alhasil, pernyataan Presiden bakal menjadi tantangan sangat berat bagi Menteri Pemuda dan Olahraga Imam Nahrawi. Maklum, ketika memutuskan membekukan PSSI, Menpora tidak hanya mendapatkan apresiasi, tetapi juga hujatan tiada henti dari para pencinta sepak bola Indonesia.
Hujatan itu bukan tanpa alasan. Selama ini publik sudah paham betul berbagai manuver pemerintah ataupun pengurus sepak bola. Jadi, wajar masyarakat mempertanyakan keseriusan Menpora membenahi sepak bola jika mengumumkan anggota Tim Transisi saja selalu molor dan tak jelas waktunya.
Sempat muncul pula kabar mengenai motif di balik alasan Menpora membekukan PSSI yang kini dipimpin oleh La Nyalla Matalitti. Namun, sejatinya, masyarakat takkan peduli karena yang mereka inginkan adalah menyaksikan kembali pertandingan berkelas di lapangan, bukan konflik pribadi untuk menunjukkan kekuasaan.
Pemerintah harus serius jika ingin membenahi sepak bola Indonesia. Mereka juga harus membuktikan kepada masyarakat, jika memang memiliki blueprint sebagai dasar untuk pembenahan sepak bola nasional secara jangka panjang, bukan hanya untuk kurun waktu singkat.
Meminjam teori ahli psikologi sosial asal AS, Kurt Lewin (1951), seseorang yang akan mengadakan perubahan harus memiliki konsep agar proses itu terarah dan mencapai tujuan yang diinginkan. Karena itulah, Menpora harus memiliki konsep jelas agar masyarakat siap dan bisa menerimanya untuk berjalan bersama-sama ke arah perubahan.
Perubahan agar tidak ada lagi tarik ulur kepentingan ketika membentuk kepengurusan baru PSSI. Perubahan agar tidak lagi ada upaya melibatkan oknum-oknum yang terbukti selama puluhan tahun gagal membina sepak bola di dalam negeri. Perubahan untuk membentuk kompetisi sehat agar gaji dan hak para pemain bisa terpenuhi seusai janji.
Peduli
Bung Hatta pernah berkata, "Jatuh bangunnya negara ini sangat tergantung dari bangsa ini sendiri." Menurut Bung Hatta, Indonesia hanyalah sekadar nama dan gambar seuntaian pulau di peta jika persatuan dan kepedulian makin pudar di setiap jiwa rakyat Indonesia. Pernyataan itulah yang harus diilhami para pengurus PSSI dan pemerintah jika ingin serius membenahi sepak bola.
Jika kedua pemangku kepentingan itu tak lagi saling peduli, sepak bola Indonesia akan terus mengalami krisis prestasi. Jika mereka tidak lagi memperhatikan persatuan, sepak bola akan terus merajut kisah kegagalan. Kalau sudah seperti itu, jutaan talenta muda sepak bola-lah yang akan menjadi korban.
Banyak bukti, dari Sabang sampai Merauke, tersimpan bibit emas sepak bola. Puluhan tahun mereka menyimpan asa, menunggu kapan sepak bola di Tanah Air bisa menjadi ajang memperebutkan prestasi, bukan konflik yang tiada henti. Bertahun-tahun mereka merasa dianggap tak penting karena nyatanya hanya pengakuan kepengurusan yang dianggap lebih genting.
Atas berbagai masalah itu, kini harapan besar publik Indonesia akan kembali tertanam di benak para pemangku kepentingan negeri ini. Masyarakat sudah rindu menyaksikan sepak bola menjadi hiburan yang menyenangkan. Sepak bola yang tidak lagi membuat kepala pemain muda tertunduk lesu di podium kekalahan.
Oleh karena itu, jadikan sanksi FIFA sebagai momentum perbaikan. Pemerintah harus menepati janji jika berniat tulus membenahi sepak bola di dalam negeri. Mereka juga harus ingat, masyarakat sangat menginginkan perubahan meskipun dalam perjalanannya, berkaca kepada catatan sejarah, wajar jika nanti masih bakal muncul pertanyaan, "Mau buat manuver apa lagi, PSSI?"
Tulisan ini menampilkan opini pribadi dari wartawan Kompas.com, Ary Wibowo. Penulis bisa dihubungi lewat Twitter @iLhoo
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.