Pada era 1990-an, sepak bola Italia dikejutkan dengan keberadaan AC Parma. Klub tersebut baru merasakan atmosfer Serie-A pertama kalinya pada musim 1990-91. Bersaing dengan klub-klub besar macam AC Milan, Inter Milan, Juventus, dan Sampdoria, tak membuat gentar sang klub promosi.
Catatan hebat langsung ditorehkan Parma pada musim perdananya di Serie-A, yakni lolos ke kompetisi Eropa dengan menduduki peringkat keenam Serie-A. Bahkan, posisi Parma saat itu lebih baik ketimbang Juventus yang berada tepat di bawahnya.
Peran Parmalat
Kehebatan Parma pada era 1990-an tak bisa lepas dari Calisto Tanzi. Pengusaha asal Italia itu memutuskan membeli Parma yang baru saja kehilangan Presiden Ernesto Ceresini karena meninggal dunia.
Tanzi merupakan CEO Parmalat, sebuah perusahaan yang bergerak di bidang makanan serta minuman. Parmalat adalah salah satu penguasa pasar makanan di Italia pada 1980 hingga 1990-an. Tak ayal, Parmalat mampu menjamin masa depan Parma dengan kekuatan uang dimiliki.
Tak hanya membeli pemain baru, Parmalat juga menyokong fasilitas latihan klub dengan baik. Gelontoran dana untuk membangun akademi sepak bola Parma lebih maju mampu melahirkan pesepak bola potensial seperti Buffon.
Masa emas
Perjalanan Parma di kompetisi kasta tertinggi Italia langsung memberikan warna baru, sekaligus ancaman bagi klub-klub besar yang telah lama berkecimpung di Serie-A. Parma membuat gebrakan dengan berhasil menjadi juara Coppa Italia pada musim keduanya berkiprah di Serie-A. Sinyal waspada bagi para pesaing dengan cepat dinyalakan pasukan Scala.
Keberhasilan merengkuh trofi prestius pertama dalam sejarah itu membuat Parma berkesempatan berlaga di Piala Winners yang diperuntukkan bagi para juara turnamen di kompetisi Eropa. Parma kembali unjuk gigi. Pada musim 1992-93, trofi Piala Winners langsung dipersembahkan klub untuk Parmagiani (sebutan pada suporter Parma).
Selanjutnya sudah bisa ditebak. Parma menjelma menjadi klub yang mulai diperhitungkan. Pada musim 1994-95, Parma mendapat koleksi lagi dari ajang antarklub Eropa saat menjadi juara Piala UEFA (sekarang bernama Liga Europa).
Di kompetisi dalam negeri, Parma sampai saat ini sudah merengkuh empat gelar, yakni Coppa Italia pada 1991-92, 1998-99, dan 2001-02, serta Piala Super Italia pada 1999. Untuk ajang Serie-A, prestasi terbaik Parma berada di urutan kedua pada musim 1996-97, yang saat itu dijuarai Juventus dengan selisih hanya dua poin.
Awan kelabu
Keberhasilan menjadi juara Coppa Italia pada 2001-02 menjadi prestasi terbaik terakhir Parma. Pada akhir 2003, terungkap bahwa Parmalat, sebagai pemilik Parma mengalami krisis keuangan. Parmalat diklaim tidak bisa melunasi masalah pajak sebesar 150 juta euro.
Usut punya usut, ternyata Tanzi bersama sejumlah pemimpin perusahaan Parmalat diketahui terlibat penggelapan dan pencucian uang. Parmalat memiliki utang pinjaman kepada Bank of America sebesar lebih dari 14 miliar euro.
Akan tetapi, mencari investor asal Italia tidaklah mudah. Sementara itu, opsi menutup utang dengan menjual para pemain andalan sudah dilakukan beberapa tahun sebelumnya.
Secara beruntun setahun sekali sejak 1999, Parma menjual Juan Sebastian Veron, Crespo, Buffon, Thuram, dan Cannavaro dengan harga yang tinggi. Meski sudah mendapat dana segar dari hasil menjual para pemain terbaiknya, awan kelabu tetap menghinggapi Parma soal krisis keuangan.
Gagal bangkit
Parma akhirnya mendapat investor baru yang mau membiayai klub dalam diri Tommaso Ghirardi pada 2007. Namun, pengusaha yang bergerak di bidang bisnis industri mekanik itu tidak sekaya perusahaan Parmalat.
Ghirardi hanya mampu memberikan dana sekitar 11 juta euro bagi klub untuk membeli 11 pemain baru pada musim tersebut. Alhasil, Parma gagal bersaing di Serie-A dan harus terdegradasi ke Serie-B pada musim pertama Ghirardi ditunjuk sebagai presiden klub.
Cerita Parma saat promosi ke Serie-A untuk kedua kalinya jauh berbeda ketimbang pada era Scala. Dengan dana minim, Parma gagal bangkit kembali menjadi kekuatan di Serie-A. Klub-klub kini tidak lagi gentar menghadapi I Gialloblu.
Kebangkrutan di Depan Mata
Sampai pada akhirnya, Ghirardi sudah tak mampu membiayai Parma. Pada Juni 2014, Parma diklaim memiliki utang sebesar 197 juta euro. Ghirardi lantas menjual klub kepada pengusaha keturunan Rusia-Siprus, Rezart Taci, dengan nilai hanya satu euro pada 19 Desember 2014.
Taci kemudian menunjuk Ermir Kodra sebagai presiden klub. Namun, Taci terkesan tidak serius mengurus Parma. Selama memimpin Parma, Taci tidak pernah sekalipun bertemu dengan para pemain yang gajinya belum dibayar sejak awal musim 2014-15. Baru dua bulan, Taci dengan mudah menjual kembali Parma kepada Giampietro Manenti.
Jangankan membayar gaji pemain serta staf pelatih yang tertunggak sejak lama, untuk membayar pihak keamanan stadion pun tidak bisa dilakukan Parma. Alhasil, laga antara Parma melawan Udinese dan diikuti menghadapi Genoa gagal terlaksana.
Yang paling miris tentunya komentar dari kapten tim, Antonio Lucarelli. "Kami mencuci seragam tim di rumah masing-masing. Kami tidak lagi memiliki binatu," kata Lucarelli.
Parma sekarang bagai berada di tepi jurang. Salah melangkah, Parma akan terperosok dan butuh waktu untuk kembali naik ke permukaan teratas, yakni Serie-A.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.