KOMPAS.com - Total football seperti dogma bagi sepak bola Belanda. Skuad ”Oranye” seperti terjebak dalam perangkap permainan agresif warisan Rinus Michels yang menggemparkan di Piala Dunia 1974 itu. Setiap kali pelatih Belanda menerapkan taktik bertahan, label pengkhianat total football langsung melekat.

Empat tahun lalu, ketika memimpin Belanda di Piala Eropa 2012, Manajer Bert van Marwijk keluar dari pakem itu. Dia menerapkan sepak bola pragmatis.

Van Marwijk yang bukan dari lingkaran klub Ajax dikecam karena mengandalkan permainan fisik dan serangan balik. Van Marwijk tetap dihujat meskipun dia membawa Belanda hingga final Piala Dunia Afrika Selatan 2010. Itu adalah final pertama setelah 1978.

Di Piala Eropa 2012, Van Marwijk membawa tim yang terpecah-pecah dalam filosofi permainan sepak bola. Belanda pun kandas di fase penyisihan grup, tanpa satu kemenangan pun dari tiga pertandingan melawan Jerman, Portugal, dan Denmark.

Louis van Gaal kemudian ditunjuk memimpin Belanda, menggantikan Van Marwijk. Ia mendapat kesempatan kedua setelah gagal meloloskan Belanda ke putaran final Piala Dunia 2002. Van Gaal dikenal dengan filosofi permainan menyerang dalam formasi 4-3-3 yang merupakan ciri khas total football.

Namun, cedera gelandang Kevin Strootman mendorong Van Gaal kembali ke gaya lama, 5-3-2, yang menjadi 3-5-2 atau 4-3-3 saat menyerang. Perubahan formasi itu membuat lini belakang Belanda menonjol, hanya kemasukan empat gol.

Taktik bertahan dan menyerang balik ini tertutup oleh ketajaman penyelesaian akhir. Belanda mencetak 15 gol, termasuk kemenangan 5-1 atas Spanyol di laga pertama. Juga kemenangan 3-0 atas tuan rumah Brasil pada laga terakhir mereka dalam perebutan peringkat ketiga yang berlangsung di Stadion Nacional, Brasilia, Sabtu (12/7/2014).

”Kami melihat secercah cahaya di ujung lorong dan berhasil menggapainya,” ujar Van Gaal mengenai kemenangan atas Brasil.

Pada laga terakhir itu, Van Gaal tetap menurunkan formasi lini belakang yang solid. Namun, dia menolak dinilai bermain bertahan. Ia sempat marah dalam konferensi pers setelah Belanda mengalahkan Cile, 2-0, di fase grup karena dinilai menang dengan taktik bertahan.

”Saya menerapkan taktik yang sesuai dengan kemampuan terbaik para pemain. Ini semua tentang meraih kemenangan. Ini tidak ada hubungannya dengan bermain lebih menyerang atau kurang menyerang,” ujar Van Gaal ketus.

Apa pun itu, di akhir Piala Dunia 2014, Van Gaal mengakui bahwa ia menawarkan alternatif lain bagi Belanda. Ia menunjukkan ada cara bermain lain yang bisa diterapkan tanpa menghilangkan kemampuan terbaik pemain.

”Ini penting untuk menunjukkan ada pola permainan baru. Mungkin ini akan membuka mata semua orang di Belanda dan membuat mereka sadar bahwa bukan hanya satu sistem yang bisa memberikan kebahagiaan kepada publik,” ujar Van Gaal seusai meraih peringkat ketiga Piala Dunia 2014.

Pemain muda

Van Gaal juga meletakkan fondasi masa depan Belanda dengan memanggil 10 pemain muda yang menjadi bagian dari 23 skuad inti. Mereka berusia antara 20 dan 24 tahun, kecuali kiper Jasper Cillessen yang menginjak 25 tahun.

Mereka menghidupkan mesin permainan Belanda bersama pemain-pemain senior, seperti Robin van Persie, Arjen Robben, Wesley Sneijder, dan Nigel de Jong. Pemain muda, seperti Daley Blind, Stefan de Vrij, Bruno Martins Indi, dan Daryl Janmaat, mengukuhkan kekuatan lini belakang.

Di lini tengah ada Georginio Wijnaldum dan Jordie Clasie. Dua gelandang berusia 23 tahun itu bersama Kevin Strootman menjanjikan lini tengah Belanda yang kreatif dan solid untuk tampil di Piala Eropa Perancis 2016.