SAO PAULO, KOMPA.com — Stadion Maracana, Rio de Janeiro, Brasil, akan menjadi panggung seniman sepak bola Argentina dan Jerman di final klasik Piala Dunia Brasil, Minggu (13/7/2014). Wakil Amerika Selatan dan Eropa ini lihai mengatur ”nada” seperti orkestra yang mengalun dari tempo maestoso yang hikmat hingga prestissimo yang sangat cepat.

Argentina telah menemukan nada dasar simfoninya pada semifinal melawan Belanda di Arena Sao Paulo, Rabu (9/7). Mereka tidak lagi bergantung kepada sosok Lionel Messi. Anak-anak asuh Alejandro Sabella ini bermain seperti orkestra, kolektif di tiap lini untuk menciptakan permainan solid. Mereka juga tampil tanpa Angel di Maria yang cedera.

Tempo permainan Argentina tidak secepat saat masih ada Di Maria. Namun, para seniman sepak bola itu telah menemukan harmoni permainan yang merdu dari lini belakang hingga depan. Sengatan mereka memang kurang mengentak, tetapi tetap mematikan.

”Kami terus berkembang sebagai sebuah tim. Itu sangat penting. Anda bisa lihat di lapangan. Semua pemain saling mendukung,” ujar kiper Argentina, Sergio Romero.

Romero menjadi pahlawan kemenangan, 4-2, atas Belanda dalam adu penalti setelah bermain tanpa gol selama 120 menit. Romero menggagalkan eksekusi penendang pertama Belanda, Ron Vlaar, dan penendang ketiga Wesley Sneijder. Belanda pun gagal mengulang kemenangan penalti melawan Kosta Rika di perempat final.

Pelatih Belanda Louis van Gaal kehabisan jatah pergantian pemain sebanyak tiga orang hingga perpanjangan waktu sehingga tidak bisa memasukkan kiper spesialis penalti Tim Krul.

Van Gaal juga mengatakan, dua pemain menolak menjadi penendang pertama. Ia pun memutuskan Vlaar, yang berstatus pemain belakang, sebagai penendang pertama. Pelatih berusia 62 tahun itu tidak menyebutkan dua pemain yang dimaksud. Namun, dari beberapa catatan penalti Belanda, kemungkinan penendang pertama saat tidak ada Robin van Persie adalah Arjen Robben atau Klaas-Jan Huntelaar.

”Pilihan akhirnya Ron Vlaar karena dia pemain terbaik di lapangan. Saya pikir dia sangat percaya diri,” kata Van Gaal.

Mascherano

Meskipun laga ini ditentukan melalui adu penalti, peran vital dalam skuad Argentina ada pada Javier Mascherano. Ia menjadi konduktor yang menggalang kekuatan lini tengah saat bertahan dan menyerang. Keberadaan Mascherano menghadirkan rasa aman bagi bek kiri Marcos Rojo, gelandang Lucas Biglia, dan Oscar Perez yang menempati posisi Di Maria untuk berimprovisasi. Saat ketiga pemain muda itu membantu serangan, Mascherano ada di setiap posisi lowong.

”Dia adalah simbol, emblem tim Argentina di dalam dan di luar lapangan. Dia memikul beban berat di pundak, mengantar kami ke semifinal dan kini ke final,” ujar Sabella memuji Mascherano.

Peran Mascherano akan sangat vital saat Argentina bertemu Jerman yang sangat kuat di lini tengah. Anak-anak asuh pelatih Joachim Loew itu sudah lebih dahulu menemukan permainan kolektif mereka.

Orkestra Jerman sudah dibangun sejak Mesut Oezil, Sami Khedira, Manuel Neuer, dan Mats Hummels meraih Piala Eropa U-21 2008. Mereka dimatangkan di Piala Dunia 2010, ditambah Toni Kroos, Bastian Schweinsteiger, dan Philipp Lahm yang akan menjadi kapten menggantikan Michael Ballack.

Di Piala Eropa 2012, mereka kembali menjadi pilar permainan Jerman. Dua tahun kemudian, mereka mengentak di Brasil, salah satunya menghajar tuan rumah, 7-1, di semifinal.

Sabella menegaskan, Argentina akan bertarung hingga tetes keringat terakhir untuk juara setelah terakhir kali ke final 1990.

Argentina akan memainkan orkestra di Maracana, kuil sepak bola milik Brasil. Jika Argentina juara di Maracana, ini akan lebih menyakitkan rakyat Brasil dibandingkan dengan kekalahan dari Jerman.

”Anda tahu rivalitas Brasil dan Argentina seperti apa. Jika mereka juara di Maracana, sebaiknya kita tidak usah bicara sepak bola lagi, ini akan sangat memalukan,” ujar Diego Marquez, warga Sao Paulo.