KOMPAS.com- Kekhawatiran Brasil gagal menjadi juara tanpa Neymar akhirnya terbukti. Sepak bola ”Samba” malah menuai bencana setelah dipermalukan Jerman, 1-7, di Stadion Mineirao, Belo Horizonte, Selasa (8/7/2014) atau Rabu dini hari di Indonesia. Itu kekalahan terburuk ”Selecao” dalam 84 tahun penyelenggaraan Piala Dunia.

Hasil memalukan itu tak hanya disambut isak tangis, tetapi juga kemarahan. Di Sao Paulo, para suporter membakar sejumlah bus dan menjarah toko barang elektronik. Surat kabar setempat menyebutkan, sekitar 20 bus yang tengah diparkir di pul dibakar.

Wartawan Kompas, Agung Setyahadi dan Adi Prinantyo, melaporkan dari Belo Horizonte, protes terhadap pelaksanaan Piala Dunia yang menelan biaya 11 miliar dollar AS (Rp 128 triliun) belum benar-benar reda di Brasil. Kemarahan bisa sewaktu-waktu muncul kembali, terutama ketika tim ”Samba” gagal jadi kampiun.

Brasil kehilangan mimpi meraih gelar juara dunia keenam kali di Mineirao. Peringkat ketiga tidak menghibur rakyat Brasil karena bagi mereka hanya ada satu mimpi, juara dunia. Mimpi itu pupus seiring lelehan air mata suporter tim Samba yang menguningkan Mineirao.

Gelegar teriakan penuh semangat di awal laga berubah menjadi isak tangis. Tangan-tangan terkepal yang menantang langit terurai menutupi wajah-wajah kalut.

Jerman datang membawa kematian. Gol pertama ”Die Mannschaft” yang dicetak Thomas Mueller menit ke-11 seperti sengatan pembangun tidur. Suporter sejenak terdiam, tetapi kemudian kembali membakar semangat skuad Selecao dengan teriakan ”Brasil, Brasil, Brasil.”

Namun, 12 menit kemudian justru Brasil tertinggal 0-2 berkat gol Miroslav Klose. Gol yang mengantar Klose sebagai pencetak gol terbanyak sepanjang Piala Dunia dengan 16 gol. Suporter Brasil terkejut, tetapi belum cukup untuk membuat tersadar apa yang sedang terjadi.

Mereka baru terbangun dari mimpi semenit berselang, setelah Toni Kroos menundukkan kiper Julio Cesar. Gelandang Bayern Muenchen itu melancarkan sengatan kedua yang membawa Jerman unggul 4-0. Dua gol Kroos dalam rentang 69 detik itu bak lonceng kematian.

Air mata meleleh

Air mata meleleh di pipi suporter Brasil. Tangan membungkam mulut yang menganga. Mereka menolak percaya pada kenyataan. Namun, gol kelima Jerman sontekan Sami Khedira pada menit ke-29 membuat suporter Brasil tersadar bahwa mimpi mereka menjadi juara dunia pupus sudah.

Babak pertama usai, kiper Julio Cesar tak kuasa menahan air matanya. Ia berjalan gontai menuju ruang ganti dengan air mata bercucuran.

Stadion Mineirao tidak lagi memberi Brasil keberuntungan seperti saat mereka menyingkirkan Cile 3-2 lewat adu penalti di babak 16 besar. ”Saya akan dikenang sebagai pelatih yang kalah 1-7, tetapi itulah risiko dari pilihan saya,” ujar pelatih Samba Luiz Felipe Scolari.

”Hujan” cemoohan

Expominas Arena, gedung pertemuan di Belo Horizonte yang dijadikan fan fest selama Piala Dunia, mendadak sarat gerutuan dan cemoohan setelah kekalahan memalukan Brasil.

Padahal, ribuan penggemar yang memadati gedung sejak pukul 14.00 waktu setempat, atau tiga jam sebelum laga dimulai, datang dengan aura positif. Itu terpancar dari yel-yel penyemangat dan canda tawa.

Namun, saat pertandingan berjalan, seiring makin telaknya kekalahan Brasil, suporter berbalik menggerutu dan mencemooh. Saat kamera televisi menyorot wajah striker Fred di bangku cadangan, ”Huuuu” terdengar. Seruan serupa terdengar ketika wajah Felipao muncul di layar televisi.

Gejan, yang datang dengan putranya, berkali-kali memeluk sang anak untuk membesarkan hati. ”Dia sedih sekali,” katanya.

Sorak-sorai ribuan suporter yang umumnya berkaus kuning itu lenyap saat pemain tim ”Panser” tujuh kali membobol gawang Cesar. Brasil hanya mampu sekali membalas melalui gol Oscar.

Kesedihan senada diungkapkan Elsione (40). ”Saya tidak membayangkan Brasil kalah begitu besar. Kalah 1-7 itu terlalu banyak. Siapa pun tidak membayangkan ini terjadi,” ujarnya.

Pelatih Jerman Joachim Loew memahami perasaan rakyat Brasil. Ia pernah mengalami itu saat Jerman disingkirkan Italia di Piala Dunia 2006. ”Sebagai tuan rumah, kami memiliki harapan besar pada 2006. Anda memiliki tekanan yang sangat besar untuk menjadi juara. Saya turut bersedih untuk Scolari,” ujar Loew. (bbc/dailymail/riz)