Kiprahnya sebagai pemain, yang pernah membela Lazio, Juventus, Barcelona, Real Madrid, dan menutup kariernya bersama Ajax Amsterdam pada Juni 1998, menjadi bukti kehebatan Laudrup. Dia menjadi gelandang serang yang disegani lawan.
Kehebatan Laudrup terus berlanjut di bidang kepelatihan. Pria kelahiran Frederiksberg, Denmark, 15 Juni 1964, itu mencatatkan diri sebagai salah seorang pesepak bola yang sukses sebagai pemain dan pelatih.
Wajarlah apabila Pemerintah Denmark menganugerahinya gelar kesatria Denmark, Order of the Dannebrog, pada April 2000. Pada November 2006, dia dinobatkan sebagai pesepak bola terhebat Denmark sepanjang masa oleh Asosiasi Sepak Bola Denmark.
Laudrup, yang memutuskan melanjutkan karier sepak bolanya sebagai pelatih, sukses melalui debutnya di klub Denmark, Bronby, dengan sekali menjuarai liga dan dua piala Denmark. Sukses dia sebagai pelatih terus berlanjut di Getafe dan Spartak Moskwa. Namun, prestasi yang dihargainya sangat tinggi adalah karier sebagai Pelatih Swansea City pada saat ini.
Laudrup tak hanya mengangkat Swansea dari papan bawah ke papan tengah Liga Primer Inggris (EPL), tetapi juga mempersembahkan gelar bergengsi pertama bagi klub itu. Gelar yang ditunggu-tunggu sejak klub itu berdiri seabad lalu, yaitu Piala Liga Capital One. Pada laga puncak Piala Liga, Minggu (24/2), Swansea menang telak 5-0 atas Bradford.
”Saya tidak bisa membandingkan piala ini, dan apa yang sudah kami capai dalam kompetisi ini, dengan sesuatu yang sudah saya raih sebelumnya. Memenangi sebuah piala dengan Barcelona, Real Madrid, atau Juventus memang ’sesuatu’, tetapi memenangi kompetisi dengan sebuah tim kecil seperti Swansea sungguh fantastis. Ini adalah piala besar pertama yang pernah diraih klub itu. Sesuatu yang pertama itu pastilah spesial,” katanya menegaskan.
Meski demikian, Laudrup yang resmi bergabung dengan Swansea mulai Juni 2012, dengan rendah hati menjelaskan, dia hanya melanjutkan apa yang sudah diletakkan oleh para pendahulunya. Salah satunya Brendan Rodgers, yang kini menangani Liverpool.
”Filosofinya sudah ada sejak enam-tujuh tahun lalu. Itu membuat semuanya menjadi lebih mudah karena setiap kali Anda mendapatkan seorang pelatih dengan filosofi yang sama, Anda pun mencari pemain yang serupa,” paparnya.
Michael Laudrup memang seorang pesepak bola sejati. Dia lahir dari keluarga pesepak bola. Ayahnya, Finn Laudrup, adalah mantan pemain klub Brondby yang juga pendiri sekolah sepak bola anak-anak, Vanlose. Di klub inilah Michael berlatih sepak bola bersama saudara kandungnya, Brian.
Ketika ayahnya dipanggil ke
Michael memulai debutnya sebagai pemain senior pada 1981 di Kobenhavns Boldklub. Dia tampil 14 kali bersama Boldklub dengan menyumbang tiga gol. Bakatnya yang besar membuat Brondby tertarik untuk membawa dia. Bersama Brondby, Michael menyumbangkan 24 gol dari 38 kali penampilannya.
Ibarat magnet, daya tarik Laudrup sampai juga ke Italia. Juara liga Serie A, Juventus, pun tertarik untuk membawanya dengan uang pindah yang menjadi rekor terbesar dalam sejarah sepak bola Denmark, yaitu satu juta dollar AS (sekitar Rp 9,7 miliar).
Akan tetapi, karena Juventus terkena aturan larangan memiliki lebih dari dua pemain asing dalam satu tim, Laudrup lalu dipinjamkan kepada Lazio untuk satu musim.
Laudrup yang tak tahu dia akan dipinjamkan ke Lazio ketika menandatangani kesepakatan dengan Juve hanya bisa menerima keputusan itu. Di klub Italia ini pun, kilau Laudrup semakin benderang meski hanya mencetak sembilan gol dari 60 kali penampilannya.
Laudrup akhirnya bergabung dengan Juve mulai musim panas 1985. Ia menggantikan Zbigniew Boniek. Dia bermain bersama Michel Platini, dan pada tahun pertamanya langsung memenangi liga Serie A 1985/1986, juga juara Piala Intercontinental.
Sukses bersama Juve berlanjut di Barcelona. Dia memilih klub Spanyol itu karena di situlah pesepak bola idolanya, Johan Cruyff, membangun sebuah tim. Bakatnya semakin terasah bersama Cruyff yang meletakkan filosofi sepak bola Belanda di klub itu.
Tim yang dijuluki ”Johan Cruyff Dream Team” itu menjuarai La Liga empat tahun berturut-turut, 1991-1994, dan sejumlah kejuaraan lain. Laudrup pun dua kali terpilih sebagai pemain terbaik di Spanyol (1991 dan 1992) meski di tim itu juga ada Pep Guardiola, Hristo Stoichkov, Jose Maria Bakero, dan Txiki Begiristain.
Masa-masa indah itu harus berakhir tahun 1994, dengan kehadiran penyerang asal Brasil, Romario Faria. Laudrup pun meninggalkan Barcelona dengan berat hati.
Laudrup lalu bergabung dengan rival Barcelona, yakni Real Madrid, yang langsung dianggap banyak orang sebagai cara dia untuk membalas sakit hatinya kepada Cruyff.
”Orang-orang mengatakan, saya ingin pergi ke Real Madrid hanya untuk balas dendam. Saya katakan, balas dendam atas apa? Saya memiliki waktu yang sempurna, lima tahun yang sangat fantastis di Barcelona. Saya pergi ke Madrid karena mereka sangat lapar kemenangan dan mereka memiliki empat atau lima pemain yang pergi ke Piala Dunia. Ini adalah kesempatan bagus, pelatih baru, pemain-pemain baru, dan lapar untuk menang,” katanya.
Bersama Madrid, Laudrup pun memenangi gelar juara La Liga. Ini menjadikan dia sebagai satu-satunya pemain yang menjadi juara lima kali di La Liga, dalam dua klub berbeda.
Sampai pensiun sebagai pemain, Laudrup tetap diingat sebagai pemain yang mempunyai teknik sempurna. Tak berlebihan jika Platini menggambarkan Laudrup sebagai ”pemain paling berbakat sepanjang masa”. Pujian serupa disampaikan pemain legendaris Spanyol, Raul, dan mantan rekan satu timnya, Romario.
Kenangan indah sebagai pemain tersebut kini sudah berlalu, tetapi Laudrup melanjutkan kehebatan ”dinamit” Denmark dalam lembaran-lembaran baru kariernya sebagai pelatih dan manajer. Seperti disebutkan BBC, Laudrup telah menancapkan identitasnya dalam permainan Swansea.