KOMPAS.com -- Bambang Pamungkas tidak menyesal dan menyatakan berbangga memperkuat tim nasional, saat tim nasional terpuruk sekalipun. Ia memiliki alasan-alasan dan prinsip-prinsip tersendiri soal itu, meski tidak jarang berseberangan dengan keluarganya. Seperti apa prinsip-prinsip itu, berikut lanjutan wawancara dengannya:
Dengan keputusan bergabung timnas, Anda seperti melawan arus besar. Apa yang membuat Anda berani? Ada yang membekingi Anda?
Saya rasa, tidak. Jujur, tantangan itu tidak hanya dari luar. Dari keluarga saya sendiri pun sempat mempertanyakan keputusan saya. Karena, istri saya, dari tahun 2008, sebenarnya ingin saya pensiun dari timnas. Apalagi, dalam keadaan konflik seperti ini saya melawan arus.
Tetapi, pada akhirnya saya berpikir ini tanggung jawab moral saya. Saya pernah merasakan bagaimana saya begitu bangga bermain untuk timnas. Saya pernah merasakan bagaimana kami dicaci maki di timnas. Saya pernah merasakan bagaimana kami gagal, bagaimana kami berhasil, dan sebagainya.
Artinya, ketika saya melihat timnas ditinggalkan masyarakat, ketika timnas dicaci maki masyarakat, saya berpikir ada tanggung jawab moral di sana. Memang semua orang berpikir bahwa timnas yang kemarin itu adalah timnas yang mungkin terburuk dari yang selama ini dikirim.
Tetapi, saya merasa sangat terhormat bermain dengan mereka. Karena di tengah segala cacian, di tengah segala makian, di tengah segala permasalahan, mereka tetap berdiri, berjuang di garda paling depan untuk membela harkat dan martabat bangsa. Menurut saya, itu luar biasa.
Dan itu salah satu hal yang ada di hati saya. Ketika saya pernah begitu bangganya, begitu dipuji-puji orang bermain di timnas, maka ketika terpuruk, saya juga ingin merasakannya. Karena itu tanggung jawab moral saya, terlepas apakah itu event terakhir saya atau tidak, saya pernah mengatakan itu. Tetapi, saya ingin mengakhiri semuanya dengan, katakanlah sesuatu hal yang memuaskan hati saya.
Apa mendorong istri Anda meminta mundur dari timnas tahun 2008?
Tekanan bermain di timnas sangat tinggi. Maka, kita pernah melihat, seorang pemain yang bermain begitu luar biasa di klub, ketika bermain di timnas tidak maksimal. Itu banyak terjadi. Karena logikanya, ketika saya bermain untuk Persija dan saya gagal, maka yang mengritik saya hanya masyarakat Jakarta.
Tetapi, ketika saya bermain untuk timnas Indonesia, ketika tidak memuaskan publik, maka dari Sabang sampai Merauke yang mengritik saya. Itu konsekuensi. Mungkin bagi saya, itu hal yang wajar karena itu sebuah konsekuensi yang sangat saya pahami sebagai pemain sepak bola. Tetapi, bagi keluarga, tidak semudah itu.
Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!
Syarat & KetentuanKunjungi kanal-kanal Sonora.id
Dapatkan informasi dan insight pilihan redaksi Kompas.com
Daftarkan EmailPeriksa kembali dan lengkapi data dirimu.
Data dirimu akan digunakan untuk verifikasi akun ketika kamu membutuhkan bantuan atau ketika ditemukan aktivitas tidak biasa pada akunmu.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.