Kisah hidup Gurnam Singh atau Leni Haini, ataupun banyak mantan atlet yang di hari tua menjadi penarik becak atau pemulung, adalah potret biasa dari kegagalan manusia mengatasi masalah kehidupan usai masa jayanya. Seperti direktur perusahaan yang jatuh miskin seusai pensiun atau juga kepala bagian yang terlibat utang seusai pada akhir masa dinasnya.
Namun, buat media di sini berlaku "bad news is a good news". Ditumbuhkan kesadaran bahwa menjadi atlet adalah masa "perjuangan dan berkorban tanpa pamrih" bagi orang banyak tanpa pernah memperhatikan kepentingan dan masa depan sendiri.
Banyak atlet sadar atau tidak sadar tidak pernah menganggap pendidikan sebagai kunci utama memahami masa depan. Bonus yang melimpah saat meraih prestasi kadangkala menguap tanpa bekas atau menjadi "bancakan" keluarga besar atlet yang bersangkutan.
Pada dekade 1990-an, di kantor PSSI Senayan, para pemain era 1960-1980-an kerap berkumpul. Bukan kerap, bahkan mungkin setiap hari. Bukan untuk reuni atau bernostalgia seperti pada era "facebook" seperti sekarang, tetapi karena hanya itulah dunia yang mereka kenal.
"Dulu itu, kami pemain bola—bahkan pemain nasional—menganggap dunia ini tidak akan berubah. Hampir setiap malam, sebagian besar dari kami menghabiskan uang yang kami punya di tempat hiburan malam. Makanya banyak yang kemudian takut menikah dan hidup membujang hingga akhir hayatnya," kata almarhum Kam Tek Fong alias Muljadi.
Sampai akhir hayatnya, Muljadi memang tidak menikah dan hidup di lingkungan lapangan Petak Sinkian milik klub Union Makes Strength (UMS).
Kisah hidup mantan atlet yang sengsara bukan hanya terjadi di Indonesia, tetapi yang membedakan adalah sudut pandang masyarakat yang tecermin melalui media massa.
Kisah hidup bintang sepak bola Inggris, Paul "Gazza" Gascoigne, cukup tragis. Dipandang sebagai pemain paling berbakat pada dekade 1990-an, Gascoigne membawa Inggris lolos ke semifinal Piala Dunia Italia 1990. Ia juga diminati banyak klub Liga Inggris ataupun Eropa lainnya.
Namun, kisah hidup Gascoigne kemudian lebih banyak dihiasi kisah buruk tentang ketergantungannya pada alkohol serta kisah kekerasan yang menyertai kehidupan rumah tangganya.
Meski begitu, masayarakat sepak bola Inggris atau Eropa lebih cenderung menempatkan kesalahan itu pada figur Gazza. Dia adalah seorang yang telah mendapatkan kesempatan yang sangat besar, dengan talenta luar biasa dan sistem sepak bola profesional yang mapan, tetapi menyia-nyiakannya.
Gazza atau Gascoigne pun menyadari semua kesalahan itu ada pada dirinya. Ia tidak bisa melemparkannya pada orang lain atau sistem yang tidak adil. Dengan kondisi seperti ini, media massa pun menempatkannya sebagai orang yang gagal dan belum menemukan cara untuk rebound, bangkit dari kegagalan.
Kisah hidupnya sedikit berbeda dengan mega bintang Jerman (Barat) pada 1960-1970-an, Gerd Mueller. Setelah kariernya surut, Mueller juga sempat terperangkap dalam cengkeraman alkohol. Namun, media massa kemudian mengangkat kisah bagaimana Mueller bangkit dari keterpurukannya tersebut dengan bantuan rekan-rekannya dari timnas Jerman Barat yang pernah menjadi juara dunia tahun 1974.
Atlet dan media massa adalah ujung tombak untuk memperlihatkan bahwa olahraga adalah satu bidang yang tepat untuk menjadi pilihan hidup. Atlet menempa diri dengan disiplin ketat, memiliki tujuan hidup yang jelas yang mungkin jauh lebih tinggi daripada mereka yang memilih profesi lain. Sementara itu media massa membangun kesadaran publik bahwa atlet yang baik dan bermasa depan adalah cerminan dari masyarakat yang sehat dan berpengharapan.
Semoga kasus Gurnam Singh, Leni Haini, dan Diego Mendieta membuka kesadaran bagi para atlet-atlet muda ataupun orangtua mereka bahwa selama sistem olahraga Indonesia masih amburadul adalah lebih baik bersiap diri menghadapi masa depan.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.