Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

"Catenaccio" Telah Mati

Kompas.com - 05/07/2012, 07:33 WIB

SELAMA perhelatan Piala Eropa 2012, dan juga kompetisi sepak bola besar lainnya, selalu saja catenaccio disebut-sebut. Setiap ada tim yang bermain dengan fokus bertahan dan mengandalkan serangan balik, selalu disebut sepak bola catenaccio.

Pada Piala Eropa 2012 lalu, Italia sebagai negara yang identik dengan catenaccio justru disebut mulai meninggalkan sepak bola bertahan itu. Bahkan, Inggris yang kemudian dituduh mengadopsi catenaccio.

Padahal, catenaccio murni sebenarnya sudah lama mati. Bahkan, tim-tim Italia yang dianggap gemar catenaccio sudah lama tak menggunakannya.

Catenaccio sebenarnya bukan dari Italia. Ide awalnya justru datang dari pelatih Austria, Karl Rappan. Dia memasang satu bek di belakang lini pertahanan, tepatnya di belakang dua bek tengah dan di depan kiper. Tugasnya menjamin keamanan. Jika lini belakang gagal menahan lawan, maka dia bisa menjadi penyapu terakhir sebelum kiper. Bek tambahan ini yang kemudian disebut sweeper atau penyapu. Rappan menyebut sistem ini dengan nama verrou atau gerendel.

Lalu, gaya sepak bola ini kemudian populer di Italia, setelah pelatih Nereo Rocco mengadopsinya. Dia memodifikasi sweeper dengan libero. Bedanya, jika sweeper khusus menunggu lawan lepas atau menjadi defender terakhir. Libero juga demikian, tapi dia diberi kebebasan bergerak. Dengan tugas utama membantu pertahanan, tapi dia juga diberi tugas menjadi playmaker kedua.

Sistem ini kemudian diperhalus oleh pelatih asal Argentina, Helenio Herrera, saat menangani Inter Milan pada era 1960-an. Rocco sukses bersama Milan degan juara Piala Champions (sekarang Liga Champions) musim 1962-63. Sedangkan Herrera sukses bersama Inter dengan menjuarai Piala Champions musim 1963-64 dan 1964-65.

Salah satu kunci dan ciri khas catenaccio adalah penggunaan man marking. Pemain lawan akan ditempel ketat dan sedekat mungkin. Tugas penempelan pemain lawan ini biasanya dilakukan bek tengah, bek sayap, dan gelandang bertahan.

Berbagai variasi catenaccio memang muncul. Tetapi, filosofinya, permainan defensif ini untuk mempertahankan keunggulan atau menghindari kemasukan gol. Juventus dengan bintangnya John Charles pernah memakai catenaccio juga. Setelah menjadi striker utama, tiba-tiba Charles turun menjadi bek tengah.

Lalu, memasuki era 1970-an, muncul Ajax Amsterdam yang begitu superior dengan permainan menyerangnya. Di bawah pelatih Rinus Michels, Ajax juara Piala Champions 1970-71, mengalahkan Panathinaikos 2-0. Saat itu, Ajax mengusung sepak bola total (total football) yang antitesis terhadap permainan bertahan. Ajax bermain sangat menyerang dan bahkan serangan tak hanya diandalkan pada lini depan, tetapi juga bisa lini tengah, bahkan defender. Sehingga, sepak bola man marking gaya catenaccio akan kesulitan membuat skala prioritas siapa saja yang harus ditempel ketat karena semua pemain bisa menyerang dalam total football.

Setahun kemudian, musim 1971-72, Ajax tak hanya mempertahankan Piala Champions. Tetapi, mereka juga menaklukkan catenaccio. Ajax yang bermain menyerang, menghajar Inter Milan 2-0 di final. Dua gol dicetak Johan Cruyff yang menjadi master permainan menyerang Ajax. Semusim kemudian, giliran Juventus yang dikalahkan Ajax di final Piala Champions. Di babak sebelumnya, AC Milan yang bermain bertahan dibantai Ajax 6-0.

Halaman:
Baca tentang
    Video rekomendasi
    Video lainnya


    Terkini Lainnya

    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    komentar di artikel lainnya
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Close Ads
    Bagikan artikel ini melalui
    Oke
    Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com