Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Sepak Bola Yunani dan Hegemoni Merkel

Kompas.com - 20/06/2012, 15:13 WIB

Catatan Sepak Bola Sindhunata

KEGEMBIRAAN meledak di seluruh Yunani ketika Giorgos Karagounis dan kawan-kawan mengempaskan raksasa Rusia dari Piala Eropa 2012. Kemenangan dahsyat itu sungguh menghibur rakyat Yunani yang sedang terpukul paling berat oleh krisis Eropa akhir-akhir ini.

”Tak ada krisis di Yunani.” ”Hari ini lupalah kami akan nasib tragis yang menimpa kami.” ”Kami tetap tinggal di Eropa dengan usaha kami sendiri.” ”Akhirnya sebuah berita baik datang kepada kami walau hanya mengenai sepak bola.”

Begitulah teriakan orang Yunani. Kata-kata bangga dan sombong itu memang hanya terkait dengan bola. Namun, kata-kata itu seakan juga mengangkat Yunani dari krisis zona euro yang telah memojokkan mereka menjadi negara yang nyaris bangkrut dan tak berarti.

”Malam ini sangatlah penting bagi kami dan bagi semua rakyat Yunani. Negeri kami sedang melalui saat-saat yang sulit. Kemenangan itu rasanya tak bisa kami selami. Saya sungguh bersyukur kepada Tuhan,” kata Karagounis, pencetak satu-satunya gol yang membuat Rusia terusir dari Piala Eropa 2012.

Gol Karagounis membawa Yunani kembali ke zaman keemasannya tahun 2004. Siapa yang mengira negara yang sama sekali tak difavoritkan itu ternyata menjadi juara Eropa 2004? Ya, di bawah Otto Rehhagel, Yunani melaju ke final. Di final, Angelos Charisteas mencetak satu-satunya gol yang membuat tuan rumah Portugal terempas dan menyesal seumur hidup. Bendera Yunani berkibaran. Dan fans mereka pun menyanyi: Ole, ole, ole, Hellas, ole.

”Yunani adalah negeri di mana ditemukan demokrasi, dan saya adalah orang yang menerapkan diktator demokratis,” kata Rehhagel bangga. ”Dulu setiap pemain membuat apa yang ia ingin, sekarang setiap pemain membuat apa yang ia bisa,” katanya.

Waktu itu kesebelasan Yunani dituduh antimodern karena sistem beton pertahanannya yang total defensif. Rehhagel dengan lugas menjawab, ”Modern adalah siapa yang menang.” Kasarnya, apa gunanya bermain modern jika akhirnya kalah? Filsafat bola Rehhagel ini ada benarnya: Tidakkah banyak kesebelasan yang merasa bermain indah dan menyerang akhirnya menyesal ketika ujung-ujungnya mereka tidak memperoleh kemenangan? Itulah yang diratapi Luis Figo dan kawan-kawan tahun 2004. Dan itu pula yang ditangisi Belanda dan Rusia tahun ini.

Rehhagel sudah tak lagi melatih kesebelasan Yunani. Namun, di bawah Pelatih Fernando Santos, ”sepak bola beton” itu kelihatannya masih terus dipegang. Santos tahu, tidaklah mudah melawan Rusia. Maka, menjelang pertandingan melawan Rusia, ia menerapkan strategi ini, ”Kalau kami tidak dapat menang, kami harus menghindar untuk tidak kalah.”

Bila diwujudkan, ”jangan sampai kalah” akan menjelma menjadi sepak bola negatif. Orang sering sinis terhadap jenis sepak bola ini. Namun, terbukti bahwa kenegatifan itu juga mempunyai kepositifan. Ingatlah ketika Chelsea melawan Bayern Muenchen dalam final Liga Champions tahun ini. Bayern menyerang habis-habisan gawang Chelsea, dan Chelsea kelihatan lebih bertahan. Akhirnya tim asuhan Roberto Di Matteo-lah yang juara.

Halaman:
Baca tentang
    Video rekomendasi
    Video lainnya


    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    komentar di artikel lainnya
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Close Ads
    Bagikan artikel ini melalui
    Oke
    Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com