JAKARTA, KOMPAS.com - Setiap Sabtu, Nendi Hidayat, kapten tim Sekolah Sepak Bola Bina Taruna, berangkat dari rumahnya di Kabupaten Subang, Jawa Barat, ke Jakarta. Ia harus berangkat Sabtu supaya hari Minggu badannya segar untuk bertanding di ajang Liga Kompas Gramedia U-14. ”Capek juga perjalanan dari Subang ke Jakarta,” kata siswa SMP 2 Pegaden, Subang, itu.
Kegiatan Nendi sehari-hari diisi dengan sekolah dan berlatih sepak bola. Empat kali seminggu Nendi berlatih di klub sepak bola Mahesa di Subang. Di rumahnya, Nendi masih berlatih untuk meningkatkan kecepatan lari dan teknik menguasai bola.
”Sekolah saya tidak terganggu oleh sepak bola. Sekolah dan sepak bola dua-duanya harus jalan terus,” katanya.
Permana Rahadiana, juga pemain Sekolah Sepak Bola (SSB) Bina Taruna, harus berangkat dari Bandung ke Jakarta sebelum pertandingan Liga Kompas Gramedia (LKG). Menurut Permana, ia harus pandai-pandai membagi waktu antara sekolah dan sepak bola. Permana berlatih sepak bola setiap hari pukul 14.00 sampai 17.00. Ia juga mengikuti les di luar jam sekolah.
”Saya ikut les supaya tidak ketinggalan pelajaran karena harus meninggalkan sekolah untuk bertanding. Sekolah memberikan dispensasi kalau saya bertanding,” kata siswa SMP 2 Margahayu, Bandung, itu.
Nana Istiani (36), ibu Permana, mengatakan, meski sibuk berlatih dan bertanding, anaknya masih bisa mengikuti pelajaran di sekolah. Nana berharap anaknya suatu ketika menjadi pemain sepak bola profesional.
Membagi waktu
Dilema antara sekolah dan sepak bola dialami anak-anak yang bermain di LKG. Anak-anak itu bahkan ada yang tinggal jauh dari orangtua demi sepak bola. Orangtua kapten SSB Kabomania, Dody Al Fayed, tinggal di Jombang, Jawa Timur. Ia bermain di SSB Kabomania, Kabupaten Bogor, dengan harapan kelak menjadi pemain sepak bola profesional.
”Saya sering minta izin tidak masuk sekolah untuk bertanding. Waktu SD saya sering ranking pertama, sekarang tidak pernah. Kalau disuruh memilih, saya memilih sepak bola daripada sekolah. Saya ingin menjadi pemain sepak bola untuk membantu orangtua,” ujar siswa SMP Tunas Bangsa Bogor tersebut.
Solusi agar sekolah dan sepak bola tidak berbenturan mungkin adalah sekolah di rumah atau home schooling. Thariq Shafyaz, pemain SSB Mandiri Jaya Bogor, sudah setahun mengikuti program sekolah di rumah.
Menurut Thariq, tawaran untuk bersekolah di rumah datang dari orangtua. Thariq bersekolah di rumah supaya lebih mudah membagi waktu antara sekolah dan sepak bola. ”Sekolah di rumah cuma tiga kali pertemuan seminggu, setiap pertemuan 2-4 jam. Saya akan bersekolah di rumah sampai lulus SMP. Rencananya saya akan bersekolah SMA di luar negeri sambil berlatih sepak bola,” ungkapnya.
Direktur Kompetisi LKG U-14 Dede Supriadi mewanti-wanti pelatih, pengurus SSB, dan orangtua supaya memperhatikan pendidikan anak-anak. Pelatih dan pengurus jangan hanya memikirkan kemenangan tetapi mengabaikan pendidikan.
”Di Indonesia, pemain sepak bola bisa bermain maksimal sampai umur 35 tahun. Setelah itu, mau apa kalau pendidikannya rendah,” kata Dede. Dede mengimbau agar pemain jangan sampai kelelahan berlatih ataupun kelelahan dalam perjalanan dari tempat tinggalnya ke Jakarta. Tujuannya supaya pemain masih punya energi untuk menyerap pelajaran di sekolah. Sekolah dan sepak bola sama-sama penting. (WAD)
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.