Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Dari Tunisia ke Mesir

Kompas.com - 19/12/2011, 02:25 WIB

Siang itu, 23 Januari 2011, Kompas menginjakkan kaki di Bandar Udara Internasional Carthage di Tunisia.

Sebuah negeri Arab yang kira-kira baru sepekan sebelumnya gerakan aksi unjuk rasa rakyatnya berhasil menumbangkan salah satu rezim diktator di dunia Arab, yaitu Presiden Zine al-Abidine Ben Ali. Tunisia, negara Arab kecil di Afrika Utara dengan penduduk hanya sekitar 10 juta jiwa, di luar dugaan menggores sejarah besar. Dari sanalah mata rantai aksi unjuk rasa rakyat Arab, yang kemudian dikenal dengan sebutan ”musim semi Arab”, terangkai dan segera ibarat sambung-menyambung dari Tunisia ke Mesir, lalu Libya, Yaman, dan Suriah.

Satu per satu pemimpin Arab yang memiliki nama besar bertumbangan: Presiden Tunisia Ben Ali, Presiden Mesir Hosni Mubarak, pemimpin Libya, Moammar Khadafy, dan Presiden Yaman Ali Abdullah Saleh. Presiden Suriah Bashar al-Assad hanya menunggu waktu. Sebagian negara Arab monarki, seperti Maroko dan Bahrain, juga tak luput dari terjangan angin musim semi Arab itu. Raja Maroko Mohammed VI terpaksa melakukan amandemen konstitusi yang memberi kekuasaan lebih besar ke pemerintah sipil.

Musim semi Arab itu tak hanya mengubah kepemimpinan di sejumlah negara Arab saat ini, tetapi juga menggeser pola hubungan dan persepsi Barat terhadap dunia Arab. Dunia Barat, yang semula penuh prasangka terhadap kekuatan politik islamis, kini mulai bersedia berkomunikasi dengan berbagai kekuatan politik islamis di dunia Arab. Barat menyambut baik pula hasil pemilu pascarevolusi di Tunisia, Maroko, dan Mesir yang dimenangi kubu islamis.

Kajian bersama Kementerian Luar Negeri AS, Komisi Hubungan Luar Negeri Kongres, dan Dewan Keamanan Nasional AS pada Juli lalu menegaskan, kemaslahatan AS adalah membuka dialog dengan kubu islamis di dunia Arab, khususnya Ikhwanul Muslimin di Mesir, seiring dengan gelombang revolusi saat ini.

Penasihat presiden AS urusan teroris, Bruce Riedel, kepada harian terbesar Mesir, Al Ahram, juga menegaskan, tak mungkin AS kini mengabaikan Ikhwanul. Berbagai kajian Barat menyimpulkan, musim semi Arab yang berhasil menumbangkan sejumlah rezim nasionalis diktator tak lebih dari semacam peralihan kekuasaan di dunia Arab dari kubu nasionalis sekuler yang berbaju militer ke gerakan Islam politik. Musim semi Arab yang menggegerkan dunia itu dipicu sebuah peristiwa kecil yang sangat bernuansa lokal, yaitu kasus pedagang asongan Mohamed Bouazizi yang bunuh diri dengan membakar diri, 17 Desember 2010, di Provinsi Sidi Bouzid (265 km arah selatan kota Tunis).

Bouazizi nekat bunuh diri ketika polisi menyita dagangannya berupa buah-buahan dan sayur-sayuran yang menjadi satu-satunya gantungan hidupnya. Kasus itu tampak sederhana di permukaan, tetapi hakikatnya mengusung pesan permasalahan inti dunia Arab, yaitu sebuah fenomena penindasan rakyat kecil oleh rezim tirani. Kasus itu pun langsung menggerakkan hati nurani rakyat untuk segera bangkit melawan rezim, tidak hanya di seantero Tunisia, tetapi cepat menjalar ke negara-negara Arab lain.

Rakyat Tunisia ternyata berhasil merontokkan rezim Ben Ali dalam tempo kurang dari sebulan atau persisnya 28 hari dari peristiwa bunuh diri itu. Jalan Habib Bourguiba di jantung kota Tunis segera pula menjadi saksi rakyat Tunisia bebas berteriak, mengeluarkan pendapat, dan bahkan mencaci maki pemerintah. Rakyat Tunisia seperti keluar dari penjara.

Menginspirasi Mesir

Belum lagi rakyat Tunisia selesai menikmati euforia kebebasan yang baru mereka peroleh, rakyat Mesir segera seperti terinspirasi rakyat Tunisia. Mereka langsung bangkit pula melawan rezim otoriter Mubarak yang dimulai 25 Januari 2011. Gerakan itu kemudian dikenal dengan revolusi 25 Januari. Ketika tiba di Kairo dari Tunisia, 28 Januari 2011, Kompas langsung melihat pemandangan sangat mengejutkan di Alun-alun Tahrir di jantung kota Kairo. Alun-alun ini berubah jadi mimbar bebas bagi rakyat Mesir, tak ubahnya Jalan Habib Bourguiba di Tunis.

Asumsi yang segera terpetik dalam benak, rezim Mubarak secara de facto sudah jatuh dan kejatuhannya secara resmi tinggal menunggu waktu. Para pemuda Mesir saat itu sudah menguasai kota Kairo, khususnya Alun-alun Tahrir. Mubarak pun mulai merasa terjepit dan kehilangan kendali. Ia lalu meminta bantuan militer mengembalikan keamanan. Namun, militer secara mengejutkan akhirnya juga memihak rakyat melalui pernyataan-pernyataan pers yang menyatakan memahami tuntutan rakyat saat itu.

Rezim Mubarak tampak makin lunglai karena telah kehilangan sandaran utamanya, yaitu militer. Akhirnya Wakil Presiden Mesir Omar Sulaiman pada 11 Februari 2011 mengumumkan, Mubarak menyerahkan kekuasaan kepada Dewan Agung Militer. Perjuangan para pemuda Mesir pun berhasil menumbangkan rezim Mubarak dalam kurun waktu hanya 18 hari.

Hanya berselang beberapa hari dari kejatuhan Mubarak, aksi gerakan menumbangkan pemimpin Libya, Moammar Khadafy, segera dimulai pula. Gerakan anti-Khadafy bermula dari kota Benghazi, Libya timur, 15 Februari 2011. Berselang dua hari setelah itu, 17 Februari 2011, kota Benghazi jatuh ke tangan kaum pemuda revolusioner Libya secara penuh. Ini kemudian disebut revolusi 17 Februari.

Jatuhnya Benghazi ibarat kekuatan magnet yang segera memengaruhi kota-kota lain di Libya. Satu per satu kota jatuh ke tangan kaum pemuda revolusioner, seperti Tobruk, Derna, Ajdabiya, dan Bayda di Libya timur. Menyusul kemudian kota-kota di Libya barat seperti Misrata, Zawiya, dan kawasan gunung Nafusa yang dihuni mayoritas etnis Berber.

Revolusi Libya kemudian segera beralih dari gerakan damai ke konflik bersenjata antara kaum revolusioner dan loyalis Khadafy. Ini mendorong campur tangan NATO lewat resolusi Dewan Keamanan PBB No 1973 yang turun 17 Maret 2011. Resolusi ini menegaskan diterapkannya zona larangan terbang di atas teritorial udara Libya untuk misi perlindungan warga sipil. Campur tangan ini lambat laun mengubah perimbangan kekuatan militer di Libya. Loyalis Khadafy yang semula di atas angin secara militer mulai terdesak dan akhirnya kota Tripoli jatuh ke tangan pasukan oposisi, akhir Agustus. Puncak keberhasilan revolusi Libya adalah tatkala mereka berhasil menangkap Khadafy di Sirte, akhir Oktober lalu, dan lalu membunuhnya.

Yaman dan Suriah

Presiden Yaman Ali Abdullah Saleh akhirnya juga bersedia menandatangani proposal damai GCC (negara-negara Arab Teluk) di Riyadh, Arab Saudi, akhir November, setelah mendapat tekanan gelombang rakyatnya dan masyarakat internasional. Proposal damai itu menegaskan, Abdullah Saleh harus menyerahkan kekuasaan kepada wakil presiden.

Adapun gelombang revolusi Suriah untuk menumbangkan rezim Bashar al-Assad dimulai dari Masjid Umawi, pusat kota Damaskus, 15 Maret 2011. Saat itu, ratusan pengunjuk rasa keluar dari masjid bersejarah ini dengan berteriak-teriak menuntut kebebasan. Pada jejaring sosial Facebook milik aktivis Suriah yang beredar tertulis status ”revolusi Suriah melawan rezim Bashar Assad tahun 2011”. Para aktivis mengklaim memiliki 40.000 anggota dalam jejaring sosial itu. Gerakan anti-Assad juga cepat menjalar ke kota lain, seperti Daraa, Hama, Homs, Latikia, Aleppo, dan wilayah pedesaan di Suriah. Revolusi Suriah hingga kini terus berlanjut dan bahkan semakin berdarah. (Musthafa Abd Rahman)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com