Jika papan reklame di pinggiran kota Manchester yang terpasang pada 2009 untuk menyambut kedatangan Carlos Tevez dengan ucapan ”Selamat datang di Manchester” itu masih ada, mungkin sudah waktunya bagi manajemen Manchester City menggantinya dengan poster baru berbunyi, ”Silakan hengkang”.
Tevez dalam posisi serbasusah dan terpojok—apa pun alasan yang telah dia berikan sehari kemudian—setelah dinyatakan Pelatih Manchester City Roberto Mancini menolak tampil saat City dalam posisi tertinggal 0-2 dari tuan rumah Bayern Muenchen di Munechen pada laga penyisihan Grup A Liga Champions, Selasa (27/9).
Dengan penolakan tersebut, striker Argentina itu telah melanggar aturan olahraga paling mendasar, yakni tidak seorang pun boleh merasa lebih penting dibandingkan timnya. ”Dia menolak melakukan pemanasan dan kembali menolak untuk turun ke lapangan untuk berlaga,” kata Mancini seusai laga.
”Jika saya bisa menentukan, (karier) dia sudah berakhir bersama saya,” tegas pelatih asal Italia itu. ”Bisa Anda bayangkan, jika seorang pemain Bayern Muenchen, Milan, atau Manchester United melakukan hal itu? Jika pemain yang digaji tinggi untuk membela Manchester City tidak boleh (menolak bermain), tidak pernah boleh.”
Mancini berencana berbicara langsung dengan bos City, Khaldoon al-Mubarak, untuk membahas nasib Tevez. City telah menjatuhkan skors bagi Tevez hingga dua pekan ke depan. ”Pemain yang bersangkutan tidak akan dipertimbangkan atau tidak boleh ambil bagian dalam latihan saat penyelidikan (atas kasus ini) berlangsung,” demikian pernyataan City melalui situs mereka, Rabu (28/9).
Sebelum sanksi atau keputusan akhir dijatuhkan, Tevez berusaha membela diri. Ia meminta maaf, tetapi hanya kepada para fans City, tidak untuk Mancini ataupun manajemen klub. ”Ada beberapa kejadian membingungkan di bangku cadangan dan saya yakin, sikap saya telah disalahpahami,” demikian pembelaan Tevez lewat pernyataan.
Kasus Tevez, Mancini, dan City merupakan kelanjutan kisruh di antara mereka dalam beberapa bulan terakhir. Tevez datang ke markas City sebagai mantan pemain Manchester United (MU), saat klub itu ditangani Pelatih Mark Hughes.
Ia menikmati gaji sangat tinggi di klub barunya itu, yakni 200.000 poundsterling atau sekitar Rp 2,7 miliar per pekan, terlepas apakah ia bertanding—karena cedera atau terkena hukuman skors laga, misalnya—atau tidak. Mulai Desember lalu, kemudian Juli dan Agustus, ia berusaha agar dilepas City dan ditransfer ke Corinthians, klub Sao Paulo (Brasil) yang pernah diperkuatnya.
Alasan yang kerap dicuatkan agennya adalah istri dan anak Tevez tidak kerasan tinggal di Manchester. Saat ini, keluarga Tevez sudah kembali tinggal di Buenos Aires. Juni lalu, Tevez melontarkan pernyataan yang membuat telinga pejabat City memerah. ”Kota Manchester sudah tidak ada apa-apanya dan sangat mahal. Saya tidak akan kembali ke Manchester lagi, sekalipun hanya untuk berlibur.”
Saat bursa transfer lalu, akhirnya tak satu pun klub yang menyelesaikan transfer Tevez dari City. Tingginya harga yang dipatok City membuat klub-klub lain minggir. Dalam saat bersamaan, City terus menggelontorkan dana untuk merekrut bintang-bintang baru, termasuk striker Argentina Sergio Aguero, yang membuat Tevez tersingkir dalam tim utama. Di musim ini pula, ban kapten dicopot dari lengan Tevez.
Sebagai pelatih, Mancini berhak menentukan pemain mana yang tampil dalam sebuah laga. Pembangkangan pemain pernah terjadi di timnas Perancis di Piala Dunia 2010.
Namun, pembangkangan itu terjadi saat latihan, bukan dalam laga prestisius seperti Liga Champions. Ini yang membuat sejumlah tokoh bola marah. ”Dia (Tevez) seperti apel buruk. Dia memalukan dalam sepak bola,” kata Graeme Souness, mantan pelatih Liverpool yang kini pengamat sepak bola di televisi Sky Sports.