Inter Milan pasca-Mourinho juga sempat tampil amburadul di bawah asuhan Rafael Benitez. Kekalahan di Piala Super Eropa dan beberapa pertandingan liga menunjukkan jauhnya perbedaan performa dibanding ketika mereka dilatih Mourinho. Pertahanan yang digalang duet Lucio-Walter Samuel terlihat begitu rapuh seperti kaca, dan berlubang seperti jala. Pencetak gol musim sebelumnya, Milito, seperti kehilangan kegarangannya di depan gawang lawan. Benitez mengeluh tentang usia para pemainnya yang tua dan rentan cedera sehingga ia butuh asupan pemain baru.
"Masalah yang dihadapi Inter bukan di bursa transfer pemain, melainkan pelatih. Inter kehilangan pelatih terbaiknya, bahkan terbaik di dunia. Posisi Mourinho tak tergantikan," kata mantan Pelatih Palermo, Walter Zenga.
Setelah membawa tim menjuarai Piala Dunia Antarklub 2010, mantan pelatih Liverpool itu mengancam untuk pergi bila tak mendapatkan pemain baru yang dimintanya. Moratti memilih untuk mendepaknya. Mantan pemain dan pelatih AC Milan, Leonardo, menggantikan Benitez dan sukses membawa klub kembali ke persaingan juara dan meraih Piala Italia pada akhir musim.
Alasan di balik kemunduran
Ada beberapa alasan mengenai turbulensi yang dihadapi para tim era pasca-Mourinho. Pertama, "The Special One" terbiasa membeli bintang yang sedang berada di puncak performanya. Lucio datang ke Inter Milan saat berusia 31 tahun, Milito dan David Suazo 30 tahun, sedangkan Eto’o 28 tahun. Ketika Mourinho masih melatih, ia bisa mengeluarkan kemampuan terbaik para pemain tersebut karena memang mereka berada dalam usia puncak sebagai seorang pesepak bola. Namun ketika Mourinho pergi meninggalkan klub, performa mereka pun perlahan-lahan melempem.
Hal yang sama terjadi pada Drogba dan Carvalho yang datang di usia 26 tahun ke Chelsea, Cole pada 25 tahun, serta Ballack dan Shevchenko pada 29 tahun. Kebanyakan dari mereka saat ini telah kehilangan kemampuan terbaiknya sebagai pesepak bola. Mourinho memang membawa pemain yang bisa bersinar untuk klub saat ia melatih, tetapi mereka tidak bisa diandalkan untuk program jangka panjang klub.
Pengecualian terjadi saat ini ketika ia melatih Madrid. Ia mulai mengubah gayanya dengan mendatangkan pemain-pemain muda potensial yang punya umur sepak bola lebih panjang. Oezil didatangkan pada usia 21 tahun, Di Maria dan Nuri Sahin pada 22 tahun, serta Sami Khedira dan Fabio Coentrao pada 23 tahun. Mourinho sepertinya ingin membangun sebuah proyek sukses jangka panjang dengan Madrid, berbeda halnya dengan saat dia di Porto, Chelsea, dan Inter Milan.
Kedua, Mourinho gemar mengajak tim suksesnya untuk pergi bersamanya membangun karier di tempat baru. Para staf manajemen dan pemain kepercayaannya pun memiliki loyalitas yang tinggi terhadap "The Special One". Ketika sebuah klub kehilangan struktur manajemen yang kuat dan para pemain yang menjadi tumpuan selama beberapa tahun terakhir, jelas mereka akan terguncang.
Hal ini terjadi saat Carvalho dan Paulo Ferreira ikut meninggalkan Porto bersama Mourinho ke Chelsea. Hal ini turut mengikis kekuatan lini pertahanan Porto di musim berikutnya. Carvalho bahkan kembali direkrut Mourinho saat ia telah membesut Madrid di musim 2010/2011. Pemain bertahan asal Portugal itu pun masih bisa menunjukkan performa terbaiknya, walau untuk jangka waktu yang mungkin tidak lama lagi, mengingat usianya yang telah menginjak 32 tahun.
Saat Mourinho tiba di Stamford Bridge, ia juga membawa tim suksesnya di Porto, seperti asisten manajer Baltemar Brito, pelatih kebugaran Rui Faria, kepala pencari bakat Andre Villas Boas, pelatih kiper Silvino Louro. Beberapa di antaranya bahkan terus mendampingi Mourinho saat melatih Inter dan Madrid.