Oleh AGUNG SETYAHADI
Tepat 49 hari yang lalu, FIFA mengeluarkan surat keputusan yang isinya memerintahkan PSSI pimpinan Nurdin Halid menggelar kongres pemilihan Komite Pemilihan dan Komite Banding pada 26 Maret. PSSI diminta mengadopsi Standard Electoral Code FIFA. Komite Pemilihan selanjutnya bertugas menggelar kongres sebelum 30 April.
Waktu itu, Komite Eksekutif FIFA mengeluarkan surat itu karena sebelumnya PSSI membentuk Komite Pemilihan dan Komite Banding melalui penunjukan yang bertentangan dengan Standard Electoral Code FIFA. Komite Pemilihan dan Komite Banding itu sudah bekerja menyiapkan kongres pemilihan ketua umum PSSI.
Awalnya, kongres akan digelar di Pulau Bintan, Kepulauan Riau, pada 19 Maret. Presiden Konfederasi Sepak Bola Asia Mohamed bin Hammam kemudian menyarankan supaya kongres dipindah ke lokasi yang mudah diakses. Akhirnya lokasi kongres dipindah ke Pulau Bali dan pelaksanaannya pada 26 Maret.
Di tengah perjalanan, muncul sengketa atas hasil verifikasi Komite Pemilihan yang tidak meloloskan George Toisutta dan Arifin Panigoro sebagai kandidat ketua umum dan wakil ketua umum PSSI. Dua kandidat lainnya, Nurdin Halid dan Nirwan Dermawan Bakrie, lolos.
Komite Banding yang diketuai oleh Tjipta Lesmana pada 28 Februari secara mengejutkan membatalkan seluruh keputusan Komite Pemilihan dan mengembalikan ke PSSI.
Keputusan Komite Banding itu menyebabkan rencana kongres 26 Maret di Bali berantakan karena tidak ada calon yang bisa dipilih. Keempat kandidat ketua umum, yaitu George Toisutta, Arifin Panigoro, Nirwan Dermawan Bakrie, dan Nurdin Halid, dibatalkan pencalonannya oleh Komite Banding.
Sejak ini, bola panas PSSI bergulir liar. Dua kelompok yang berseberangan—yaitu pengusung Nurdin Halid-Nirwan Dermawan Bakrie dan pengusung George Toisutta-Arifin Panigoro—menggunakan kekuatan masing-masing untuk meraih dukungan FIFA dan Pemerintah Indonesia.
FIFA lalu mengeluarkan keputusan pada 3 Maret yang telah dibahas di depan. Namun, keputusan itu menyisakan pertanyaan, apakah Nurdin Halid masih bisa dicalonkan karena pernah dinyatakan bersalah dalam kasus kriminal.
Adapun tiga calon lainnya, George Toisutta, Arifin Panigoro, dan Nirwan Dermawan Bakrie, luput dari perdebatan apakah masih boleh dicalonkan lagi.
Di tengah kemelut tentang status Nurdin Halid itu, Pemerintah Indonesia melalui Duta Besar Indonesia untuk Swiss Djoko Susilo bertemu dengan Presiden FIFA Sepp Blatter pada 8 Maret. Dalam pertemuan itu, Blatter menyatakan bahwa sikap FIFA sudah tegas bahwa individu yang pernah bersalah atas tindakan kriminal tidak bisa dicalonkan.
Pernyataan itu diperkuat lagi oleh Konsen (Koalisi Independen untuk Rekonsiliasi Sepak Bola Nasional) yang bertemu dengan Blatter di Dili, Timor Leste, pada 15 Maret. Dalam pertemuan itu, secara tegas FIFA menyatakan bahwa personal yang pernah terlibat kasus kriminal dan dinyatakan bersalah tidak bisa dicalonkan.
Konsen digulirkan oleh pemerhati sepak bola dari kalangan wartawan senior, akademisi, dan politisi. Konsen kemudian terus bergerak melalui jalur lobi dengan berbagai pemangku kepentingan persepakbolaan nasional dan internasional.
”Konsen berusaha memberikan laporan yang lengkap dan berimbang tentang apa yang terjadi di PSSI kepada FIFA,” ujar anggota Konsen Effendi Gazali.
Nurdin Halid, yang waktu itu menjadi pusat pembahasan, terus melaju dan menggelar kongres di Pekanbaru pada 26 Maret untuk membentuk Komite Pemilihan dan Komite Banding.
Kongres di Hotel Premiere Pekanbaru ini diambil alih oleh 78 pemilik suara PSSI. Dalam kongres ini dibentuk Komite Pemilihan dan Komite Banding. Jika mau jujur, para pemilik suara yang kemudian dikenal dengan Kelompok 78 ini menjadi motor menggulingkan Nurdin Halid dari kepemimpinan PSSI.
FIFA lantas merespons masalah PSSI yang semakin kusut ini dengan mengeluarkan surat pembentukan Komite Normalisasi PSSI pada 4 April. FIFA juga menyatakan, empat calon pimpinan PSSI yang dibatalkan oleh Komite Banding pada 28 Februari tidak bisa dicalonkan lagi.
Keputusan ini menuai protes keras dari Kelompok 78 yang ingin tetap mengusung George Toisutta dan Arifin Panigoro sebagai ketua umum dan wakil ketua umum PSSI 2011-2014.
Kelompok 78 menilai, pembatalan pencalonan oleh Komite Banding pada 28 Februari tidak sah karena pembentukan komite itu tidak sesuai dengan statuta. Komite itu sudah cacat sejak awal pembentukan.
Keinginan supaya FIFA membolehkan George Toisutta, Arifin Panigoro, dan Nirwan Dermawan Bakrie boleh dicalonkan lagi mengerucut pada kongres pemilik suara pada 14 April di Hotel Sultan Jakarta.
Aspirasi para pemilik suara itu yang dibawa oleh Ketua Komite Normalisasi PSSI Agum Gumelar untuk dikonsultasikan dengan Sepp Blatter pada 19 April.
Hasilnya memang belum resmi. Namun, informasi yang disampaikan oleh juru bicara FIFA, keputusan pada 4 April tidak berubah. Artinya, posisi George Toisutta, Arifin Panigoro, dan Nirwan Dermawan Bakrie tetap tidak bisa dicalonkan kembali. Keputusan ini diambil berdasarkan berbagai laporan dari Indonesia ke FIFA, salah satunya dari Konsen.
Kamis petang ini, FIFA berjanji mengeluarkan keputusan tertulis terkait keinginan Kelompok 78 pemilik suara PSSI supaya George Toisutta, Arifin Panigoro dan Nirwan Dermawan Bakrie bisa dijagokan dalam pemilihan ketua umum, wakil ketua umum dan komite eksekutif PSSI periode 2011-2014.
Jika FIFA tidak mengizinkan ketiga orang ini dicalonkan, Kelompok 78 secara tegas akan menggelar sendiri kongres pemilihan ketua umum. Risiko sanksi PSSI dibekukan oleh FIFA tidak mengendurkan tekad Kelompok 78 suara.
”Jika keputusan ini tidak dikuti FIFA, kami tidak ragu untuk menyelenggarakan kongres tersendiri sekalipun konsekuensinya adalah sanksi dari FIFA atau suspend dari FIFA. Tidak ada keraguan dari kami,” tegas wakil Kelompok 78 dari Pengurus Provinsi PSSI Jambi, Hadiyandra.
Jika kongres di luar Komite Normalisasi itu benar bergulir, pembekuan PSSI oleh FIFA sudah sangat dekat.