Kongres PSSI untuk memilih Komite Pemilihan dan Komite Banding PSSI digelar pada 26 Maret di Pekanbaru, Riau. Dua badan tersebut berperan menentukan siapa yang bakal maju sebagai calon ketua, wakil ketua, dan anggota komite eksekutif. Namun, sebelum sampai ke sana (membicarakan kinerja KP dan KB), ada baiknya kita melihat proses terbentuknya KP dan KB.
Dua pekan menjelang kongres, Menteri Pemuda dan Olahraga (Menpora) Andi Alifian Mallarangeng menyatakan akan mengambil langkah tegas terhadap PSSI jika ada pelanggaran administrasi dan regulasi. Pertanyaannya, pelanggaran macam apa yang menjadi dasar (kuat) bagi Menpora mengartumerah- kan PSSI? Setelah kartu merah, langkah hukuman berikut dari Menpora (baca: pemerintah) terhadap PSSI seperti apa?
Pelanggaran-pelanggaran PSSI terkini terlihat dalam beberapa hari terakhir setelah peraturan organisasi (PO) PSSI rampung.
PSSI baru mengeluarkan surat undangan kepada 100 peserta kongres tanggal 21 Maret, atau lewat dua hari dari waktu yang diberikan (19-23 Maret), bagi pemegang suara untuk mengajukan nama calon Komite Pemilihan (KP) dan Komite Banding (KB). PO juga tidak dikirim bersama-sama undangan dan sampai kemarin (Rabu, 23/3) belum ada anggota yang menerima PO. Padahal, PO itu yang menjadi panduan anggota mengajukan nama calon menjadi KP dan KB.
PSSI mengirimkan undangan
Jauh sebelum menyusun PO itu, PSSI lebih dahulu melanggar aturan lain. Mengutip Statuta PSSI, Pasal 5 Ayat 1 yang berbunyi: ”PSSI bersikap netral dalam hal politik dan agama.”
Selanjutnya, Ayat 2 berbunyi: ”Setiap bentuk diskriminasi terhadap suatu negara, orang per orang, atau kelompok orang atas dasar etnis, gender, bahasa, agama, politik, atau alasan lainnya secara tegas dilarang dan dapat dijatuhi hukuman skorsing atau pemecatan.”
Untuk Ayat 1: PSSI melanggar karena bersikap tidak netral ketika membawa tim nasional di Piala AFF pada Desember 2010 ke rumah Ketua Umum Golkar Aburizal Bakrie. Bahkan, dalam satu kesempatan, Nurdin Halid menyatakan keberhasilan timnas tidak lepas dari keberhasilan Partai Golkar. PSSI juga membawa timnas untuk beristigasah ke Pesantren Asshiddiqiyah.
Pelanggaran atas Ayat 2 adalah PSSI bersikap diskriminasi terhadap Arifin Panigoro dengan menghilangkan hak yang bersangkutan untuk maju sebagai salah satu bakal calon ketua umum dan wakil ketua umum PSSI. PSSI juga mendiskriminasi ratusan pemain, ofisial, dan perangkat pertandingan yang terlibat di kompetisi Liga Primer Indonesia (LPI) dengan menghilangkan hak mereka dari kesempatan membela nama bangsa dan negara lewat timnas.
Padahal, dalam Pasal 2 Ayat 2 Statuta PSSI dengan jelas dikatakan, ”PSSI adalah organisasi kemasyarakatan dan independen yang didirikan berdasarkan hukum dan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia, terdaftar di Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia dan berdomisili di Jakarta.”
Ternyata, untuk hukuman bagi para pemain, ofisial, dan wasit di LPI, PSSI tidak pernah memberikan kesempatan hukum dalam membela diri sekali pun kepada mereka. Juga kepada individu Arifin Panigoro, PSSI tidak pernah mengajak dengar pendapat dari yang bersangkutan. Apakah ini bukan tindakan diskriminatif?
PSSI adalah organisasi yang dibentuk oleh anggotanya. Kini para anggota yang memiliki suara di kongres dan jelas mewakili sekitar 500 anggota lainnya bergerak menentang PSSI.
Gerakan ini kemudian membentuk Komite Penyelamatan Persepakbolaan Nasional (KPPN). Dengan demikian, KPPN jelas memiliki legitimasi yang kuat karena dibentuk dari, oleh, dan untuk anggotanya.
Namun, jika merujuk pada anjuran FIFA agar PSSI yang menggelar kongres, KPPN harus mengikutinya. Akan tetapi, jika terjadi kericuhan dalam kongres, KPPN sangat pantas untuk mengambil alih jalannya kongres. Alasannya, KPPN memiliki legitimasi yang kuat.
Untuk mengakhiri semua konflik dan kisruh di PSSI, saya menyarankan kepada Menpora untuk ”mengeluarkan kartu merah dan segera menuntaskan segera semua kekisruhan ini”...!