Pelanggaran atas Ayat 2 adalah PSSI bersikap diskriminasi terhadap Arifin Panigoro dengan menghilangkan hak yang bersangkutan untuk maju sebagai salah satu bakal calon ketua umum dan wakil ketua umum PSSI. PSSI juga mendiskriminasi ratusan pemain, ofisial, dan perangkat pertandingan yang terlibat di kompetisi Liga Primer Indonesia (LPI) dengan menghilangkan hak mereka dari kesempatan membela nama bangsa dan negara lewat timnas.
Padahal, dalam Pasal 2 Ayat 2 Statuta PSSI dengan jelas dikatakan, ”PSSI adalah organisasi kemasyarakatan dan independen yang didirikan berdasarkan hukum dan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia, terdaftar di Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia dan berdomisili di Jakarta.”
Ternyata, untuk hukuman bagi para pemain, ofisial, dan wasit di LPI, PSSI tidak pernah memberikan kesempatan hukum dalam membela diri sekali pun kepada mereka. Juga kepada individu Arifin Panigoro, PSSI tidak pernah mengajak dengar pendapat dari yang bersangkutan. Apakah ini bukan tindakan diskriminatif?
PSSI adalah organisasi yang dibentuk oleh anggotanya. Kini para anggota yang memiliki suara di kongres dan jelas mewakili sekitar 500 anggota lainnya bergerak menentang PSSI.
Gerakan ini kemudian membentuk Komite Penyelamatan Persepakbolaan Nasional (KPPN). Dengan demikian, KPPN jelas memiliki legitimasi yang kuat karena dibentuk dari, oleh, dan untuk anggotanya.
Namun, jika merujuk pada anjuran FIFA agar PSSI yang menggelar kongres, KPPN harus mengikutinya. Akan tetapi, jika terjadi kericuhan dalam kongres, KPPN sangat pantas untuk mengambil alih jalannya kongres. Alasannya, KPPN memiliki legitimasi yang kuat.
Untuk mengakhiri semua konflik dan kisruh di PSSI, saya menyarankan kepada Menpora untuk ”mengeluarkan kartu merah dan segera menuntaskan segera semua kekisruhan ini”...!