Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Menikmati Musim Panas di Perancis

Kompas.com - 13/07/2010, 08:21 WIB

KOMPAS.com — Musim panas datang! Akhirnya..., begitu kalimat yang terucap dari warga Perancis. Hidup di negara empat musim memiliki keunikan tersendiri. Setiap pergantian musim akan selalu diikuti dengan perubahan mode, baik dalam busana maupun gaya hidup, seperti pelesir yang sesuai dengan suhu udara saat itu.

Musim panas merupakan musim yang paling dinantikan! Setelah berbulan-bulan jenuh dengan pakaian tebal atau basah karena hujan dan salju, panasnya matahari akan disambut oleh warga Perancis dengan sukacita. Baju musim panas akan laris manis jadi incaran. Bagaikan panik, mereka ingin sekali mengenakan busana seksi yang memperlihatkan dada atau kaki mulus hasil cukuran. Bikini dengan berbagai model seksi pun ramai menghias butik-butik pakaian.

Warna kelam mantel tebal pun akan berganti menjadi warna semarak dari baju yang dikenakan oleh pria ataupun wanitanya. Sepatu boot masuk lemari dan sepatu sandal hingga sandal jepit menjadi pilihan kemerdekaan bagi jari-jari mereka yang terkurung selama berbulan-bulan karena kedinginan.

Namun, yang terpenting dalam musim panas adalah... pantai! Warga Perancis sangat menyukai pantai, menyatu dengan pasir dan air laut merupakan budaya mereka.

Salah seorang warga Perancis mengakui, memandang laut bagaikan melihat dunia tak berakhir. Begitu luas, bebas, dan indah. Ujung laut yang terlihat bagaikan bertemu dengan awan merupakan pemandangan yang tak akan pernah habis dikagumi.

Bagi saya, orang Indonesia, pada awalnya berpantai ria ala Perancis agak risih! Takut kulit saya jadi coklat, pasir yang lengket pada kulit tubuh bikin saya merasa tak nyaman, dan air laut membuat saya takut tenggelam terbawa arusnya.

Wajar, dari kecil, saat saya dekat laut, panjang benar petuah orangtua hingga penduduk sekitar kepada anak-anak. "Jangan terlalu dekat laut, nanti ada Nyi Roro Kidul yang ngambil kamu, loh, kalau terlalu main air ketengah!" atau "Aihhh, udah, ah, main pasirnya jangan lama-lama, panas nih... nanti yang ada kulit putih kamu jadi hangus...!"

Namanya anak-anak, jika dilarang terus dengan ditakut-takuti, yang ada memang jadi kurang bersahabat dengan alam yang satu ini. Apalagi, di film-film memang cerita tentang ratu berbaju hijau itu selalu bikin bulu kuduk merinding.

Nah, yang ada malah kebalikan. Saya menikah dengan orang Perancis yang tergila-gila dengan laut. David alias Kang Dadang, suami saya itu, musim dingin pun laut wajib dilihatnya. Baginya, meski air laut dinginnya bagaikan es, tak jadi masalah. Asalkan kakinya bisa merasakan air laut, itu sudah membuatnya bahagia. Dan Adam, anak kami, begitu pertama kali mengenal pantai di usianya yang keenam bulan langsung bersahabat, padahal jalan pun belum bisa, tetapi sudah berguling-guling di pasir sambil cekikikan.

Nudis

Tempat kami tinggal berjarak 10 menit dari laut. Bahkan, kalau bisa, menurut suami saya punya rumah di pantai. Beruntung, ada rumah di pantai milik orangtua Kang Dadang yang selalu kami datangi saat suhu udara mulai sedikit hangat. Tempat liburan itu berada di kota Cap d'Agde. Kota yang sangat terkenal bagi para turis. Kaya akan pantai dan tempat hiburan serta, yang terpenting, kota tujuan bagi para nudis!

Awal mulanya saya tak terlalu peduli soal ini, apalagi Kang Dadang tak menceritakan soal nudis ala Perancis. Saya memang pernah dengar soal bertelanjang ria di pantai, tetapi pikir saya bukan di pantai umum. Ternyata saya salah! Di Kota Cap d'Agde ini ada satu lokasi khusus tempat para nudis, yang menyukai tubuh mereka tak ditempeli sehelai benang pun, bisa melakukan aktivitas sehari-harinya tanpa harus merasa canggung.

Alias, mulai dari bangun tidur hingga tidur lagi tubuh mereka telanjang. Dan, di tempat itu semua pengunjung pun bertelanjang ria, mulai dari anak kecil hingga nenek-kakek. Mereka membiarkan tubuhnya natural..., begitu mereka menyebutnya. Di restoran, di kolam renang, bermain tenis, atau apa saja kegiatannya, tak sehelai benang pun mampir di kulit mereka.

Nah, bagi saya, ok-lah kalau itu dilakukan di tempat khusus, tetapi di pantai umum pun ternyata mereka tak sungkan memperlihatkan aurat mereka. Kolot? Norak? Apa sajalah kata yang bisa diungkapan kepada saya karena merasa terganggu hingga saat ini kerap melihat aurat wanita dan pria bertebaran di sekitar kami.

Namun, rupanya bukan hanya saya yang merasa risih melihat kelamin dibiarkan bebas seperti itu. Kang Dadang sampai ngomel panjang lebar ketika dua pasang pria datang dan menebarkan handuk pantai tepat di belakang kami. Lalu keduanya melorotkan semua pakaian mereka untuk berjemur... dan bermain raket pantai!

Saya langsung memanggil Kang Dadang yang sedang asyik berenang. Biarpun saya berusaha untuk tak melihat, tetapi adegan sepintas yang tertangkap mata karena tak sengaja saat keduanya bermain raket pantai dengan tubuh telanjang tetap saja bikin saya jengah.

Bagaimana tidak, biasa melihat orang Indonesia yang berenang berpakaian lengkap tiba-tiba mata dipaksakan melihat nudis, ya, maklum saja kalau saya masih merasa terganggu.

Herannya, mereka yang bernudis tak mengenal umur. Nenek-kakek yang sudah peyot pun santai saja dengan tubuh natural mereka.

Di sinilah baru saya bisa menyadari bagaimana orang Perancis itu kebanyakan tak terlalu memedulikan pendapat orang akan tubuh mereka dan juga tak usil dengan orang lain. Tubuh mereka adalah milik mereka, langsing, kurus kerempeng, seksi, atau gendut adalah urusan mereka.

Dengan santai saya melihat bagaimana wanita berdada rata berjemur telanjang dada. Seorang pria tua dengan perut besar seakan jatuh saking beratnya tenang saja menikmati pasir sambil bermain bola. Apa pun bentuk tubuh mereka, di pantai mereka seakan menemukan kedamaian, tubuh menyatu dengan alam merupakan suatu kebutuhan.

Budaya berpantai

Budaya berpantai dan bersatu dengan air laut diperkenalkan dalam suatu keluarga sejak anak masih bayi. Di sini dokter selalu menyarankan agar bayi baru boleh diperkenalkan dengan panasnya pantai setelah berusia di atas 6-7 bulan. Jadi, jangan merasa heran bila di pantai banyak bayi-bayi yang masih merangkak sudah mengenal air laut dan lengketnya pasir sebelum bisa berjalan.

Waktu Adam akan dibawa ke pantai pada usia 6 bulan, saya sampai kaget-kaget! Di Indonesia bayi itu boleh dibilang banyak pantangannya saat akan keluar rumah. Di sini malah sebaliknya... dan ternyata Kang Dadang pun mengenal pantai dan laut pada usia 8 bulan. Saat itu, menurut ibu mertua, musim dingin, tetapi suami saya sudah tergila-gila dengan pasir pantai.

Memang, walaupun musim dingin, tetap saja pantai selalu terisi pengunjung. Anak-anak tetap bermain pasir walaupun jaket tebal, sarung tangan, dan topi tebal menutupi tubuh mereka. Kami sekeluarga di musim dingin pun tetap mengunjungi pantai, membiarkan anak kami bermain pasir dan kami berdua menikmati secangkir kopi hangat.

Tak bisa dimungkiri, saya yang dulunya agak alergi dengan pasir sekarang malah ikut-ikutan menggali pasir bersama kedua buah hati. Dulu saya takut dengan laut, sekarang sedikit demi sedikit sudah berani berenang hingga payung pantai kami terlihat mengecil.

Berpantai ala Perancis berarti menghabiskan waktu setengah hari hingga satu harian di pantai. Kami sekeluarga biasanya datang pagi hari sekitar pukul 9. Lalu, hingga saat makan siang, kami menghabiskan waktu dengan bermain bola kaki, raket pantai, membangun kastil dari pasir, atau bermain layangan. Namun, banyak juga yang memilih untuk berpiknik ria di pantai dan melanjutkan hari berpantainya hingga sore.

Pantai juga digunakan sebagai tempat berolahraga, misalnya lari atau sekadar jalan sehat. Bagi yang berlari, sepatu mereka menjadi sedikit basah terkena air laut bukan hal yang aneh, sedangkan mereka yang memilih olahraga jalan sehat di sepanjang pantai tanpa alas kaki katanya berguna untuk sirkulasi darah karena telapak kaki sepanjang berjalan menginjak batu-batu kecil dan air laut yang menyegarkan membasuhi kaki membuat mereka tak terlalu letih.

Menikmati kehangatan matahari di pantai sudah bisa saya rasakan. Tak ada lagi istilah takut kulit menjadi coklat karena memang sedikit berwarna malah terlihat lebih sehat dan manis he-he-he. Bicara soal kulit menjadi coklat adalah impian orang Perancis, mungkin tepatnya kulit putih bangsa Eropa.

Di pantai, kebanyakan tujuan utama orang datang adalah berjemur! Benar-benar bagaikan sate bagi saya. Karena berjemurnya bolak balik alias tiap sisi. Bagi yang kulitnya sulit menjadi coklat, mereka menggunakan krim yang membantu mempercepat proses pembakaran kulit; tentunya dalam krim tersebut ada pelindung dari bahaya matahari.

Krim pelindung terhadap sinar matahari wajib dikenakan oleh pengunjung pantai. Kesadaran akan bahaya sinar ultra violet sudah terpatri dalam jiwa orang Perancis. Makanya, anak-anak yang bermain di pantai tubuh mereka terkadang terlihat bagaikan selembar roti yang diberi selai saking tebalnya krim pelindung yang diberikan orangtua demi melindungi anak mereka.

Menjadi coklat bagi orang Perancis serasa eksotis. Saat musim dingin pun mereka tetap mencoklatkan diri, bukan di pantai tentunya, tetapi di salon kecantikan khusus yang menyediakan alat untuk mencoklatkan kulit dengan sinar UV buatan.

Di Montpellier, misalnya, setiap saya mendatangi pantai pada musim panas, paling saya hanya bertemu orang Asia tak lebih dari dua kali dalam setahun yang menikmati pantai untuk bermain dengan keluarga, apalagi berjemur! Karena orang Asia lainnya, seperti bangsa China yang lumayan banyak bermukim di Perancis, tetap saja kebudayaan memiliki kulit putih pucat adalah simbol kecantikan. Sebaliknya, di sini kulit pucat bagaikan orang sakit. Namun, biasanya orang Asia yang terbiasa dengan budaya putih adalah bersih ketika menikah dengan orang asing yang menganut gambaran coklat adalah eksotis menjadi terbiasa dengan gaharnya matahari dan menjadi coklat saat musim panas.

Begitulah sifat manusia yang tak pernah puas dengan apa yang diberikan oleh Tuhan, tetapi saya anggap ini hal yang wajar. Faktor iklan juga terkadang yang membuat manusia jadi teracuni. Di sini iklan kulit coklat begitu menjamur, sebaliknya di Indonesia iklan memutihkan kulit selalu kerap tayang di berbagai media massa.

Hal menarik lainnya dari berpantai ria ala Perancis adalah banyaknya tukang jajanan. Maklum namanya juga orang Indonesia terbiasa dengan budaya jajan dari penjaja dengan gerobaknya. Nah, setiap musim panas, para penjaja makanan berlalu lalang. Jualannya sih tak semeriah di Indonesia pastinya, tetapi lumayanlah, ada donat, ice cream, kacang manis, hingga the a la menthe (teh pakai daun mint). Rata-rata penjaja makanan ini adalah mahasiswa, masih muda-muda, enaklah dipandang mata! Kata teman saya, masih seger-seger! Jadi pengen manggil biar dapatin es yang seger juga..!

Sebenarnya sih gimana enggak segar yang jualan kalau yang pria rata-rata ganteng dan wanitanya? Wah, itu sih nggak perlu dikasih komentar lagi, sudah manis berbikini pula....! Wajar saja udara pantai yang sejuk semakin terasa sepoi-sepoi dengan pemandangan seperti ini....

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com