Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Inggris dan Berkah Eric Cantona

Kompas.com - 25/05/2010, 03:17 WIB

Cantona bukan orang Inggris, dia Perancis tulen meski keturunan Sardinia dan Spanyol dari garis kakek dan neneknya. Pria flamboyan ini gabungan antara tukang bikin onar, seniman, dan genius sepak bola. Dia menjadi tonggak kesuksesan Manchester United (MU) merajai Liga Inggris dan Eropa selama lebih dari satu dasawarsa. Didatangkan ke Old Trafford oleh Sir Alex Ferguson pada awal musim 1992 dengan pertaruhan besar, ”jadi bintang atau penghancur”, Cantona membuktikan bahwa dirinya bukan sekadar bintang, melainkan juga ”raja” yang menjadikan MU klub istimewa.

Dilahirkan dengan bakat unik genius sepak bola, Cantona memang ”pembuat masalah”, bahkan sejak karier profesionalnya di klub Auxerre. Bukan saja jago berkelahi—bahkan dengan teman setimnya—Cantona juga bermulut tajam. Bintang kelahiran Marseille, 24 Mei 1966, ini pernah menjalani aneka macam skors karena memaki anggota komisi disiplin, wasit, bahkan pelatih tim nasionalnya sendiri.

Meski genius dan pencetak gol andal, Cantona harus berpindah-pindah klub akibat polahnya yang nyeleneh. Dari Auxerre, dia hijrah ke Marseille dan kemudian dipinjamkan ke Bordeaux dan Montpellier sebelum berlabuh di Nimes. Karena frustrasi, Cantona berniat pensiun menyepak bola pada 1991. Adalah Michel Platini—yang kagum pada kegeniusannya—yang membujuk Cantona untuk hijrah ke Inggris, membangun karier baru.

Cantona kemudian berlabuh di Leeds United dan mengantarkan tim kota industri itu menjadi juara Inggris musim 1991. Saat kompetisi usai dan FA memulai format baru Premiership. Sir Alex, yang sudah menjadi komandan di Old Trafford sejak 1986, membutuhkan seorang ujung tombak. Cantona menjadi incaran utamanya. Fergie sangat kagum kepada Cantona, bukan saja karena teknik yang tinggi dan keandalannya mencetak gol, melainkan juga karakternya yang keras. ”Cantona cocok memimpin pasukan muda MU,” pikir Fergie.

Intuisi Fergie mengenai Cantona memang brilian. Dengan karakternya yang keras, Cantona sukses memimpin pasukan MU, yang sejak musim 1992-1993 diisi bintang-bintang muda seangkatan David Beckham. Hampir lima tahun bersama ”Setan Merah”, Cantona memberikan empat gelar Premiership, termasuk gelar ganda Piala Liga dan FA Cup.

Saat prestasi MU sedang melambung, Cantona justru memutuskan pensiun dari sepak bola, padahal usianya baru 31 tahun. Keputusannya pensiun tidak saja diratapi MU, tetapi juga sepak bola Inggris secara umum. Meski kontroversial—termasuk kasus tendangan kungfunya yang sensasional—Cantona menjadi pelepas dahaga masyarakat Inggris yang rindu prestasi dan bintang stylist dengan karakter kuat.

Momen kebangkitan

Sejak kehadiran Cantona, sepak bola Inggris memang ibarat bangkit dari kematian panjang. Di pergaulan internasional, Inggris terbilang medioker karena baru sekali menjadi juara dunia, yakni pada tahun 1966 saat Piala Dunia digelar di negara itu. Sempat melambung ke angkasa saat menjadi tuan rumah Euro 1996, pasukan ”The Three Lions” tersungkur di babak semifinal lewat adu penalti melawan Jerman.

Inggris memang patut menangis. Saat menjadi tuan rumah Euro 1996, mereka melakukan kampanye Football coming home. Dengan tema ini, Inggris—yang mengklaim diri sebagai negara asal-usul sepak bola modern—berharap bisa menegakkan kembali kepalanya di ajang gaul internasional.

Melawan Jerman pula Inggris tergusur secara tragis dalam semifinal Piala Dunia 1990 Italia. Padahal kala itu pasukan yang dipimpin Sir Bobby Robson merupakan salah satu tim terbaik Inggris sejak Bobby Charlton dan kawan-kawan yang mengangkat Piala Jules Rimet di Wembley tahun 1966.

Di tangan Sir Bobby-lah, tim ”St George Cross” memainkan kombinasi paling sempurna antara gaya tradisional kick and rush yang mengandalkan kecepatan dan stamina dan gaya Eropa daratan yang lebih menekankan sisi teknik, pengaturan irama, dan keterampilan individu.

Drama adu penalti di Turin yang menjadi memori kelam bagi Chris Waddle dan Stuart Pearce itu makin muram karena Inggris baru saja lepas dari pengucilan internasional. Hukuman berat bagi Inggris tersebut terjadi setelah final Piala Champions antara Liverpool dan Juventus di Stadion Heysel, yang menewaskan 40 pendukung ”La Vecchia Signora” atau Si Nyonya Besar Juventus.

Maka, melejitnya MU bersama Cantona di ajang elite antarklub dunia sungguh menjadi pelipur lara bagi rakyat Inggris yang benar-benar gila bola. Cantona sendiri sudah menikmati peran barunya sebagai aktor layar lebar saat MU merebut treble winners tahun 1999. Namun, jasa-jasanya tak pernah dilupakan dan pada 2001 dia dianugerahi gelar pemain MU terbaik dalam seabad serta dan mendapat julukan tambahan ”King Eric”.

Sepeninggal Eric, Liga Inggris tetap menjadi kompetisi paling populer di dunia. Tim-tim Inggris merajai kancah elite Eropa dalam lima tahun terakhir. Meski musim ini tim-tim Inggris tak menembus empat besar Liga Champions, mereka tetap mempertahankan kehormatan Inggris yang di Afrika Selatan kelak, berupaya keras merebut kembali supremasi dunia seperti tahun 1966 saat Wembley berpesta.

Wembley yang merupakan stadion keramat bagi sepak bola Inggris sungguh menyimpan memori tersendiri.

Mengenang hari bersejarah 44 tahun lalu, Wembley memang menjadi ikon sepak bola Inggris, yang sempat mogok dalam ajang Piala Dunia karena Football Association (FA) tak sepaham dengan FIFA. Sebagai negara yang paling dulu menggelar kompetisi profesional sejak 1863, Inggris absen di tiga Piala Dunia, yakni tahun 1930 di Uruguay, tahun 1934 di Italia, dan di Perancis tahun 1938. Padahal, kompetisi Inggris sedang berkembang pesat dan di atas kertas mampu menjadi juara pada tahun-tahun itu.

Setelah Perang Dunia II usai, Inggris baru kembali bergabung dengan Piala Dunia dan ikut di Brasil tahun 1950. Sebelum 1966, prestasi Inggris naik turun tajam, gugur di babak pertama atau lolos hingga perempat final. Baru pada tahun 1966 dengan diperkuat pemain-pemain yang berkarakter baja, seperti Geoff Hurst, Bobby Charlton, Robert Hunt, dan Martin Peters, serta diarsiteki Sir Alf Ramsey, Inggris sangat percaya diri tampil sebagai juara.

Meski berada di grup berat bersama Uruguay, Perancis, dan Meksiko, Inggris mampu menjadi juara grup. Di perempat final, Charlton dan kawan-kawan membungkam Argentina 1-0, untuk menghadapi favorit kuat Portugal yang dipimpin Eusebio. Namun, dukungan yang menggebu membuat Charlton menang 2-1 dan melaju ke final menghadapi Jerman Barat.

Final di Wembley yang dimenangi Inggris 4-2 kemudian dikenang sebagai salah satu laga puncak yang kontroversial. Setelah kedudukan 2-2 dalam 90 menit, Hurst menembak kencang ke gawang Jerman Barat pada menit ke-98. Bola membentur mistar gawang dan memantul kembali ke arah garis gawang sebelum masuk kembali ke lapangan. Bola itu, tidak pernah diketahui dengan pasti, apakah pantulannya sudah melewati garis gawang atau belum. Wasit Gottfried Dienst (Swiss) mengesahkan gol yang sampai sekarang masih menjadi perdebatan itu.

 

Oleh ANTON SANJOYO

1966 adalah tahun keramat bagi sepak bola Inggris sebab pada tahun itu Eric Cantona lahir dan Inggris menjadi juara dunia. Demikian lelucon khas Britania yang ditulis sebuah tabloid olahraga, tak lama setelah Cantona menyatakan pensiun dari sepak bola, sekaligus mundur dari Manchester United. Cantona mundur sebagai bintang pada 1997, saat ”The Red Devils” sedang di puncak kejayaan.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com