Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Kotak Pandora Politik dan Olahraga

Manusia adalah makhluk politik. ~Aristoteles~

INDONESIA batal menjadi tuan rumah Piala Dunia U-20 2023. “Perkembangan situasi terkini” menjadi alasan Federasi Internasional Asosiasi Sepak Bola (FIFA), Rabu (29/3/2023), mencopot Indonesia dari tuan rumah Piala Dunia U-20 2023.

Bila frasa “situasi terkini” adalah hitungan rentang waktu pendek, penolakan atas kehadiran Timnas U-20 Israel di laga tersebut adalah hal asosiatif yang paling cepat mencegat nalar sebagai alasan pembatalan hajatan yang sedianya digelar pada 20 Mei-11 Juni 2023 tersebut.

Namun, dalam siaran pers-nya, FIFA menyinggung pula tragedi pada Oktober 2022. Ini merujuk kepada tragedi Stadion Kanjuruhan, Malang, Jawa Timur.

Tragedi Stadion Kanjuruhan tak hanya mencoreng wajah Indonesia tetapi juga menjadi salah satu insiden terburuk sepak bola dunia dengan korban tewas lebih dari 100 orang.

Presiden Joko Widodo (Jokowi), Kamis (30/3/2023), menyatakan kekecewaannya atas putusan FIFA yang membatalkan Indonesia sebagai tuan rumah Piala Dunia U-20 2023. Meski demikian, Jokowi meminta putusan itu dihormati dan kita tak saling menyalahkan.

“Jangan menghabiskan energi untuk menyalahkan satu sama lain… Jadikan hal ini sebagai pembelajaran berharga bagi kita semuanya, bagi persepakbolaan nasional Indonesia,” kata Jokowi.

Pertanyaannya, apa sebenarnya pelajaran yang benar-benar patut dipelajari di sini?

Kotak pandora

Di antara yang saat ini banyak berdengung di tengah nada kecewa dan saling menyalahkan terkait pembatasan Indonesia sebagai tuan rumah Piala Dunia U-20 2023 adalah seruan pemisahan antara olahraga dan politik.

Sayangnya, ada banyak fakta, kajian, dan riset justru mendapati bahwa politik dan olahraga adalah bak saudara kembar yang tak terpisahkan.

Terlebih lagi, perhelatan olahraga–apalagi sepak bola–merupakan ajang dengan nilai ekonomi besar, yang sekaligus mampu menggerakkan massa tanpa banyak indoktrinasi.

Ini tentu sebuah daya pikat yang sulit ditolak bagi masuknya intervensi dan atau kepentingan politik, setidaknya atas nama ekonomi.

Pada satu sisi, olahraga dinilai bisa menjadi satu-satunya sarana yang melepaskan atribut negara, keyakinan, ideologi, dan segala latar belakang lain. Hanya kemampuan di lapangan yang menentukan siapa jadi pemenang bahkan dihormati sekalipun belum tentu selalu yang menang.

Menggunakan perspektif ini, olahraga dapat menjadi sarana diplomasi alias politik luar negeri suatu negara, untuk memperlihatkan identitas, keunggulan, dan atau kualitas peradaban lewat sarana satu ukuran di lapangan.

Pada saat yang sama, pertemuan atlet lintas-negara yang semata saling mengadu kemampuan diharapkan juga menjadi sarana alami untuk saling mengenal di antara mereka.

Sebaliknya, perhelatan olahraga pun rentan menjadi wadah hegemoni unjuk kekuatan politik negara dan atau kumpulan negara. Bagaimanapun, perhelatan olahraga digelar oleh organisasi internasional yang diikuti wadah-wadah olahraga negara-negara anggotanya.

Yang menjadi masalah, setiap wadah olahraga di suatu negara pun bisa jadi punya drama politik masing-masing. Ini belum bicara soal situasi politik dan keamanan di tiap negara yang pasti juga tak bisa dipisahkan dari pengelolaan dan penyelenggaraan hajatan olahraga.

Riset Sandra Meeuwsen dan Lev Kreft yang dipublikasikan di laman jurnal Taylor and Francis Online pada 7 Desember 2022, misalnya, mengurai persinggungan politik dan olahraga kontemporer ini dengan lugas. Sederet sejarah dan fakta dibedah.

Di dalam tulisan berjudul Sport and Politics in the Twenty-First Century ini, Meeuwsen dan Kreft antara lain memuat pula kritik terhadap FIFA dan Komite Olimpiade Internasional (IOC) atas praktik-praktik yang patut diduga merupakan unjuk hegemoni politik negara dan atau kumpulan negara di dunia olahraga.

Kembali ke keputusan FIFA yang membatalkan Indonesia sebagai tuan rumah Piala Dunia U-20 2023, bisa jadi situasi terkini yang dimaksud oleh FIFA memang adalah penolakan sejumlah politisi dan elemen masyarakat atas kehadiran Timnas U-20 Israel di perhelatan ini.

Yang kemudian patut menjadi pertanyaan bagi kita semua, sebesar apa kekuatan Indonesia saat ini menyuarakan dukungan bagi kemerdekaan Palestina dalam konteks penolakan terhadap Timnas U-20 Israel tersebut?

Masihkah daya tawar Indonesia sekuat ketika Soekarno melarang tim Indonesia bertanding melawan tim Israel, misalnya?

Ataukah, jangan-jangan penolakan ini sekadar exit way terindah dan termudah bagi FIFA untuk membatalkan Indonesia sebagai tuan rumah Piala Dunia U-20 2023, dengan clue memasukkan soal tragedi Kanjuruhan dalam siaran pers pembatalan itu?

Selain isu Israel, vonis rendah bahkan bebas bagi otoritas keamanan dan penyelenggara pertandingan di tragedi Kanjuruhan pun bisa dibaca sebagai situasi terkini di Indonesia.

Belum lagi, ada berentet kabar kerusuhan mewarnai laga bola di Tanah Air, yang tak satu atau dua kali memakan korban jiwa.

Bagaimana bila ternyata FIFA meracik dua asumsi itu bersama lemahnya daya tawar Indonesia sebagai kekuatan politik dan ekonomi global apalagi dalam isu Israel?

Ya, tampaknya politik dan olahraga memang saudara kembar yang tak terpisahkan dengan banyak kotak pandora rentan terbuka di setiap kalinya. Seperti kata Jokowi, pembatalan Indonesia sebagai tuan rumah Piala Dunia U-20 2023 ini sepatutnya adalah pembelajaran bagi kita semua.

Naskah: KOMPAS.com/PALUPI ANNISA AULIANI

https://bola.kompas.com/read/2023/03/31/15084558/kotak-pandora-politik-dan-olahraga

Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke