Ya, semena-mena karena keputusan itu tanpa melalui teguran terlebih dahulu. Pada saat bersamaan FIFA masih tetap menerjunkan Tim Inspeksi untuk melihat persiapan terakhir Indonesia menuju Piala Dunia U-20 yang akan diselenggarakan Mei 2023.
Tiba-tiba saja FIFA mengambil keputusan mencabut status Indonesia sebagai Tuan Rumah. Sementara kesempatan untuk menjelaskan secara detail apapun tentang kisruh penolakan terhadap timnas Israel tidak diberikan secara proporsional.
Padahal prinsip-prinsip fair play itu adalah memberikan ruang terbuka bagi pihak yang merasa dirugikan untuk memberikan klarifikasi terlebih dahulu sebelum diberikan keputusan.
Aksi menyerah dan pasrah para pejabat pemerintahan dan pengurus PSSI terhadap keputusan FIFA ini menimbulkan tanda tanya besar di tengah-tengah publik. Seolah-olah tidak ada perlawanan yang dilakukan atas keputusan pembatalan status sebagai tuan rumah dan tidak ada kerugian Indonesia yang sudah menyiapkan infrastruktur dan fasilitas buat tim dan suporter.
Padahal sangat jelas Indonesia dirugikan karena keputusan yang serba mendadak ini, baik kerugian materiil dan nonmateriil.
Kerugian yang sebenarnya bisa diprotes dan diadukan kepada Pengadilan Olahraga Internasional atau Court of Arbitration for Sport yang berkedudukan di Swiss.
Segala sesuatu yang ada hubungannya dengan olahraga bisa diajukan sengketanya ke CAS ini. Salah satu aturan yang dikeluarkan oleh lembaga ini pada pas R27 tentang Penerapan Aturan:
"Aturan Prosedural ini berlaku setiap kali para pihak setuju untuk merujuk sengketa terkait olahraga ke CAS. Referensi tersebut dapat muncul dari klausul arbitrase yang terkandung dalam kontrak atau peraturan atau dengan alasan perjanjian arbitrase selanjutnya (proses arbitrase biasa) atau mungkin melibatkan banding terhadap keputusan yang diberikan oleh federasi, asosiasi atau badan yang berhubungan dengan olah raga dimana undang-undang atau peraturan dari badan tersebut, atau kesepakatan khusus mengatur banding ke CAS (banding proses arbitrase).
Sengketa semacam itu mungkin melibatkan masalah prinsip yang berkaitan dengan olahraga atau masalah uang atau kepentingan lain yang berkaitan dengan praktik atau pengembangan olahraga dan dapat mencakup, lebih umum, segala aktivitas atau hal yang berhubungan atau berhubungan dengan olahraga."
Namun melihat tidak munculnya statement untuk memperkarakan masalah ini ke CAS melahirkan beberapa analisis bagi saya pribadi.
Pertama, soal isu FIFA mendapatkan tekanan dari Israel yang mengatakan bahwa Indonesia bukanlah tempat yang aman buat mereka. Jika hembusan angin ini benar adanya, maka sebenarnya pemerintah kita gagal menyakinkan FIFA bahwa Indonesia aman untuk siapapun dan dari negara manapun.
Kita memiliki Densus 88 yang dikenal sigap dalam mematahkan rencana-rencana teroris. Ditambah lagi kita memiliki BNPT dan tentunya BIN.
Apabila tiga lembaga yang sudah sangat berpengalaman menangani teror ini tidak dipercaya dan diyakini bisa mengamankan Piala Dunia U-20 bebas dari ancaman-ancaman terorisme dan kelompok-kelompok yang tidak senang dengan kehadiran timnas dan suporter Israel, maka sesungguhnya ada semacam rasa tidak percaya diri kita terhadap kemampuan lembaga-lembaga tersebut.
Kedua, jangan-jangan salah satu alasan FIFA membatalkan perhelatan Piala Dunia U-20 di Indonesia lebih dipicu oleh Tragedi Kanjuruhan Oktober 2022, yang kemudian berakhir antiklimaks di Pengadilan Negeri Malang. Ada terdakwa yang divonis bebas, sementara sisanya dihukum ringan.
Tragedi Kanjuruhan adalah salah satu kecelakaan paling mematikan di dunia terkait sepakbola dan olahraga secara umum. Jumlah korbannya mencapai 135 orang. Mengalahkan tragedi pada 2001 di Stadion Accra Sports, Kinbu Road, Accra, Ghana yang memakan korban 126 orang.
Keraguan pada aparat keamanan di Indonesia tampaknya masih menyelimuti FIFA. Apalagi sejak Tragedi Kanjuruhan tidak ada program sistematis untuk penerapan sistem keamanan berbasis "stewards" yang digulirkan oleh PSSI.
Ketiga, saya menduga 6 stadion yang ditetapkan PSSI sebagai venue Piala Dunia U-20 (Stadion Gelora Sriwijaya, Palembang, Stadion Utama Gelora Bung Karno, Jakarta, Stadion Si Jalak Harupat, Kabupaten Bandung, Stadion Manahan, Solo, Stadion Gelora Bung Tomo, Surabaya dan Stadion Kapten I Wayan Dipta, Gianyar Bali) masih dianggap belum memenuhi standar stadion yang diinginkan oleh FIFA.
Dari liputan berbagai media masih terlihat sisi-sisi belum dan pekerjaan yang masih "on progress" di masing-masing stadion yang ada.
Ketika faktor itu yang mendominasi, maka persoalan Israel hanyalah bumbu pelengkap saja dari ketidaksiapan hal-hal fundamental yang menjadi syarat mutlak bagi Indonesia untuk menjadi Tuan Rumah perhelatan akbar sepakbola kelompok umur di bawah 20 tahun.
Wajar kemudian para petinggi di negeri ini dan juga pengurus teras PSSI tampak "nrimo" saja dengan sabda dadakan FIFA meskipun sangat merugikan Indonesia dalam banyak hal.
https://bola.kompas.com/read/2023/03/31/06150068/kenapa-tak-berani-melawan-fifa-