Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Membangun Jenama Bangsa melalui Ajang Piala Dunia

PERHELATAN Piala Dunia selalu menghadirkan kisah-kisah menarik di balik perjuangan seluruh tim untuk menjadi kesebelasan terbaik di planet bumi.

Drama-drama yang terjadi seputar turnamen yang digelar satu bulan lamanya itu selalu menjadi pusat perhatian.

Diharapkan tidak kurang dari 5 miliar penduduk dunia akan menyaksikan ajang olahraga paling populer sejagat ini. Sejumlah pakar dari berbagai disiplin ilmu pun memberikan kajian seputar Piala Dunia.

Di bidang pemasaran kajian mengenai brand (jenama) dikaitkan dengan Piala Dunia. Pesta bola empat tahunan ini dianggap sebagai sarana yang efektif untuk membangun jenama produk bahkan bangsa (nation branding).

Konsep jenama bangsa pertama kali diperkenalkan oleh Simon Anholt pada 1996. Persaingan antarnegara untuk memperoleh pasar ekspor, modal, tenaga kerja terampil dan pariwisata, mendorong suatu negara memiliki identitas diri melalui jenama (Rojas-Mendez, 2013).

Jenama bangsa berkontribusi untuk menciptakan identitas dan reputasi negara dengan menggunakan orang, simbol, warna, dan slogan untuk menciptakan kepribadian yang berbeda (Barr, 2012).

Identitas adalah apa yang ingin dilihat oleh suatu bangsa, sedangkan reputasi adalah apa yang dibangun oleh publik asing dalam benak mereka tentang bangsa tersebut. Reputasi menyangkut kualitas sehingga dapat diidentifikasi dengan kualitas tertentu.

Pemerintah dan perusahaan multinasional berusaha mengembangkan dan menerapkan strategi jenama bangsa untuk memperoleh keunggulan kompetitif (Sun dan Paswan, 2011).

Pemerintah menggunakan teknik jenama untuk mendiferensiasi bangsanya di panggung dunia agar mencapai daya saing global (Lee, 2011; Merkelsen & Rasmussen, 2016) dan membangun keunggulan kompetitif melawan negara pesaing dengan keyakinan bahwa jenama bangsa dapat berkontribusi pada pembangunan berkelanjutan (Fetscherin, 2010; Frog dan Sorsa, 2020).

Untuk mengembangkan strategi jenama bangsa dibutuhkan koordinasi penyampaian pesan di antara pemangku kepentingan. Audiens utama yang ditargetkan adalah turis internasional, investor asing, dan mitra dagang potensial.

Dengan demikian, jenama bangsa berperan sebagai “payung” (umbrella brand) terkait dengan produk dan layanan masing-masing negara (Kalamova dan Konrad, 2010). Tanpa pendekatan “payung”, jenama bangsa dapat menghasilkan output yang tidak terkoordinasi.

Pembangunan jenama bangsa adalah tentang mengembangkan pesan inti yang terkait dengan negara yang dapat digunakan oleh sektor industri yang berbeda.

Selain itu juga membangun citra produk suatu negara dan memastikan efek negara asal (country of origin) ke arah yang menguntungkan.

Jenama bangsa dan acara akbar olahraga

Berkenaan dengan ajang Piala Dunia, jenama bangsa dapat dibangun dengan sejumlah alasan (Knott, Fyall, Jones, 2016).

Pertama, perhatian media. Acara olahraga seakbar Piala Dunia menghasilkan liputan media yang intensif dan penyiaran internasional (Heslop, 2013). Hal ini dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan keunggulan dan posisi dari negara tuan rumah.

Kedua, pengembangan identitas nasional dan kebanggaan. Higham dan Hinch (2009) mencatat bahwa acara olahraga akbar menjadi semakin penting untuk membangun identitas tempat dan memosisikan destinasi sebagai menarik, atraktif, dan unik.

Acara olahraga adalah kesempatan bagi suatu negara untuk mendefinisikan, menciptakan atau membayangkan masa depannya dan bagaimana keinginan tersebut dapat dirasakan oleh bangsa lain (Roche, 2000).

Warga negara dapat menjadi terlibat secara emosional dan menunjukkan tingkat kebanggaan nasional yang meningkat (Gratton dan Preuss, 2008).

Ketiga, perubahan citra. Acara olahraga akbar digambarkan memiliki potensi sebagai katalis untuk perubahan dalam hal citra dan makna tempat (Higham dan Hinch, 2009).

Pemerintah Korea Selatan memanfaatkan publisitas yang berasal dari pementasan Piala Dunia 2002 untuk meningkatkan pengakuan global terhadap produk bermerek mereka dan meningkatkan citra merek negara tersebut di luar negeri (Dini, 2016).

Dalam kasus Jerman, Piala Dunia 2006 menghasilkan salah satu perubahan paling mendasar dalam sikap global terhadap Jerman, yaitu negara yang dianggap jauh lebih ramah.

Acara tersebut menjadi katalisator untuk jenama Jerman sebagai tempat yang trendi (Zollner, 2016).

Keempat, diplomasi. Nauright (2013) secara khusus mengaitkan tujuan pembangunan jenama bangsa dari negara tuan rumah dengan diplomasi global.

Dia mengklaim bahwa semakin banyak diplomasi telah berkembang untuk membentuk pandangan internasional tentang negara-negara sebagai situs untuk pengembangan bisnis dan pariwisata dan menganggap acara olahraga besar sebagai pemain penting dalam upaya diplomasi publik.

Dalam Piala Dunia 2014 Brasil, pemerintah setempat menggunakannya sebagai sarana pengakuan dan kekuatan simbolis di arena internasional (De Almeida, 2014).

Olimpiade Beijing 2008 digambarkan sebagai upaya pemerintah Tiongkok menggunakan acara untuk menunjukkan pencapaian ekonomi, teknologi dan kapasitas organisasi (Panagiotopoulou, 2012).

Kelemahan

Sekalipun ajang akbar seperti Piala Dunia dipandang positif untuk membangun jenama bangsa, namun tidak luput juga dari kelemahan.

Pertama, perhatian media berumur pendek. Ritchie dan Smith (1991) tampaknya menjadi orang pertama yang mengukur peningkatan kesadaran kota dalam menanggapi pementasan Olimpiade Musim Dingin Calgary 1998.

Selama periode lima tahun studi, mereka menemukan bahwa peristiwa tersebut meningkatkan kesadaran secara signifikan dan sangat mengubah citra kota Calgary.

Namun, mereka juga mencatat apa yang telah menjadi perhatian, yaitu tingkat penurunan kesadaran dan citra.

Panagiotopoulou (2012) menggunakan kasus Olimpiade Athena 2004 untuk memperingatkan bahwa meskipun peristiwa besar mungkin merupakan momen kunci menarik perhatian seluruh dunia, kesempatan ini tidak berlangsung lama.

Dilaporkan bahwa acara tersebut membantu membangun ulang jenama Yunani sebagai negara dengan citra mitologis dan tradisional yang dipadukan dengan desain modern dan dinamis.

Enam tahun setelah peristiwa tersebut, Yunani telah kehilangan keuntungan apapun, dengan kondisi citra negara yang bertolak belakang.

Kedua, pemangku kepentingan hanya memiliki sedikit kendali atas citra yang ditampilkan.
Gratton dan Preuss (2008) mencatat bahwa pemaparan acara, kota tuan rumah dan budayanya sangat bergantung pada media dan bagaimana mereka memilih untuk merepresentasikannya, sesuatu yang sebagian besar tidak dapat dikontrol.

Lalu bagaimana dengan Indonesia?

Di tengah hingar bingar liputan Piala Dunia, Indonesia akan menjadi tuan rumah Piala Dunia U-20 yang akan berlangsung pada 20 Mei hingga 11 Juni 2023 di enam kota: Jakarta, Palembang, Bandung, Solo, Surabaya, dan Denpasar.

Kesempatan ini tentu amat bagus untuk membangun jenama Indonesia dari cabang olahraga yang paling digemari masyarakat seantero bumi.

Walaupun skala lebih kecil namun tetap momen yang berharga untuk membangun reputasi Indonesia. Sebuah langkah awal untuk membangun jenama bangsa kelas dunia.

*Dosen Tetap Program Studi Sarjana Manajemen, Fakultas Ekonomi & Bisnis, Universitas Tarumanagara

https://bola.kompas.com/read/2022/11/22/10201778/membangun-jenama-bangsa-melalui-ajang-piala-dunia

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke