Data kematian tersebut berdasar laporan resmi pemerintah yang dihimpun hingga Minggu (2/10/2022) malam. Korban yang mengalami luka-luka akibat peristiwa itu sebanyak 299 jiwa. Dengan rincian, 260 orang luka ringan dan 39 luka berat.
Tentu angka yang menyedihkan. Jangankan di atas seratus orang, satu suporter meninggal di stadion sudah menjadi duka nasional.
Tragedi ini menyentakkan kita bersama, ada sesuatu yang keliru dalam standar liga sepak bola kita. Tetapi bukan hal ini yang menjadi fokus tulisan kali ini. Saya ingin melihatnya dari sisi lain, yakni dari bingkai "sport ethics".
Apa itu "sport ethics"? Andrea Borghini menyatakan "sport ethics" adalah cabang filsafat olahraga yang membahas etika secara spesifik yang muncul selama dan di sekitar kompetisi olahraga.
"Etika ini menjadi titik terpenting yang menghubungkan filsafat dan masyarakat pada umumnya," kata Borghini, seorang profesor filsafat di Universitas Milan, Italia, dalam laman thoughtco.com.
Secara garis besar, jika meminjam kajian para etikawan, maka sport ethics memetakan tujuh etika utama dari aktivitas olahraga, yaitu; (a) sportivitas; (b) kecurangan; (c) peningkatan kinerja; (d) olahraga yang berbahaya dan penuh kekerasan; (e) gender dan ras; (f) penggemar dan penonton; (g) olahraga disabilitas; dan (h) estetika olahraga.
Pakailah satu etika utama: sportivitas. Apa yang bisa dibaca? Betapa susahnya menegakkan sportivitas dimaksud.
Bukan saja dituntut kepada pemain, tetapi penonton, terutama suporter fanatiknya. Sportivitas merupakan pilar etika olahraga.
Sportivitas adalah kebajikan olahraga yang paling penting. Ini juga dianggap penting bagi kehidupan dan budaya di luar olahraga.
Menerima lapang dada atas kekalahan tim favoritnya merupakan bentuk sportivitas. Dalam bingkai ini, sudahkah Aremania mau menerima kekalahan?
Tampaknya ada oknum yang belum menerima kekalahan tersebut. Menurut saksi mata lewat cuitan di twitter, pada mulanya ada satu oknum penonton yang masuk ke lapangan dan diduga protes ke pemain kenapa mainnya jelek sehingga kalah.
Penonton lain melihat oknum itu berdebat, lalu ikutlah oknum lainnya. Dari satu oknum ke oknum lain, jadilah penonton lain masuk ke lapangan.
Dalam jumpa pers disebutkan sekitar 3.000 orang yang masuk ke lapangan. Sementara jumlah aparat pengaman tak sebanyak itu. Kemudian yang terjadi seperti yang kita tonton di televisi maupun video medsos.
Mengapa tak mau menerima kekalahan? Bisa jadi terkait elemen sport ethics lainnya: kinerja. Riwayat kinerja Arema FC, sejak 1994 tak pernah kalah dari Persebaya tatkala main di kandang. Tiba-tiba kemarin kalah.
Penonton mempertanyakan kinerja Arema FC. Sayang, alih-alih mempertanyakan kinerja, malah memanas jadi anarkis.
Etika yang menular
Hal lain yang menarik dari pengamatan para pengkaji sport ethics adalah sifatnya yang menular.
Hal ini ditegaskan oleh Deborah Agnew, dosen di School of Education di Flinders University di Australia Selatan, bahwa etika selama kompetisi olahraga akan menular kepada kehidupan di luar atau masyarakat. Atau etika dari luar dan masyarakat terbawa ke arena.
Apa yang terjadi di dalam Stadion Kanjuruhan itu bisa saja cerminan kehidupan di luar stadion.
Bukankah kita sering disuguhi kekerasan di luar stadion? Bukankah kita acap melihat elite tertentu yang tak bisa menerima kekalahan? Bukankah kita juga kerap mendengarkan kekerasan verbal antar pemimpin?
Deborah menambahkan bahwa salah satu perilaku yang paling tidak sportif adalah "berbicara sampah" (komentar negatif yang mengejek yang ditujukan kepada lawan) karena sportivitas adalah tentang permainan yang adil dan melakukan perilaku seseorang dengan cara yang dianggap dalam batas yang dapat diterima semangat permainan.
Selama ini kita berharap banyak dari olahraga ini. Begitulah olahraga, betapa kaya etika yang bisa digali sebagai contoh tindakan.
Kata filsuf pendidikan Wendy Kohli (1995), olahraga punya peranan penting sebagai wadah unik penyempurnaan watak, dan sebagai wahana untuk membentuk kepribadian yang kuat, watak yang baik dan sifat yang mulia.
Sekarang harapan itu sirna. Justru olahraga menjadi contoh buruk bagi penegakan etika dimaksud. Setidaknya akan menjadi catatan negatif, nonton sepak bola menularka etika buruk.
Maka, akan banyak nasihat ibu kepada anak remajanya, "Gak usah nonton bola, kamu bisa menjadi orang bertemperamen buruk!"
https://bola.kompas.com/read/2022/10/03/06300028/tragedi-stadion-kanjuruhan-dalam-bingkai-sport-ethics-