Para pesepak bola Indonesia masih belum mendapatkan perlindungan kesehatan dan kesejahteraan.
Hal ini dikarenakan terdapat pandangan bahwa pesepak bola yang dinilai bukan sebagai pekerja, melainkan suatu hobi dalam bentuk kontrak.
Alhasil, hak-hak yang seharusnya bisa didapatkan para pemain seperti para pekerja pada umumnya tak didapatkan.
Salah satu yang menjadi perhatian adalah BPJS yang tak didapat para pesepak bola.
Jika pesepak bola dilindungi BPJS, perlindungan akan lebih maksimal.
Selain itu, pandangan pesepak bola bukan sebagai pekerja juga kerap membuat sejumlah klub "nakal" karena membayar gaji dibawah upah minium.
APPI yang merupakan organisasi yang menaungi para pemain profesional Indonesia pun bergerak menangani hal ini.
APPI berupaya dengan memberikan contoh draf kontrak kerja kepada Kementerian Ketenagakerjaan.
Berdasarkan identifikasi dari Kemnaker, pesepak bola memenuhi syarat untuk dinyatakan sebagai pekerja.
"APPI menyampaikan pengaduan salah satunya soal kasus di Persegres," kata Staf Khusus Kementrian Ketenagakerjaan, Dita Indah Sari, dalam jumpa pers yang juga dihadiri Kompas.com di kawasan Blok M, Senin (22/11/2021).
"Ketika ada masalah soal upah dan hak-hak pemain yang tak dibayar, mereka mengadu ke dinas tenaga kerja setempat, tapi jawabannya 'ini kan hobi', jadi kami tak bisa intervensi. Kami merasa profesi pesepak bola harus diperbaharui di kalangan stakeholder dan pemerintah. Karena jika seperti ini terus, maka tak akan ada kemajuan," ujarnya.
"Maka dari itu kami diskusi dengan APPI, mengundang BPJS ketenagakerjaan. Terakhir kami juga diskusi dengan PSSI, PT LIB, serta beberapa klub di Bogor," tutur dia.
"Kesampingkan istilah hobi. Fokus utamanya adalah membahas pemain bola ini pekerja atau bukan pekerja. Di Kemenaker, untuk bisa disebut pekerja, harus ada hubungan kerja. Untuk bisa ada hubungan kerja, ada upah, ada perintah, dan pekerjaan," kata Dita.
"Pekerjaan ada, karena mereka dikontrak untuk bermain bola. Adakah upah? Ketika kami memeriksa draf kontrak pemain, istilah yang dipakai justru upah," paparnya.
"Lalu ada perintah, karena hak dan kewajiban pemain ada di sini. Karena tiga kriteria ini dipenuhi, maka pesepak bola adalah pekerja," jelasnya.
Kemnaker bersama APPI juga mendorong kebijakan untuk membuat klub mendaftarkan BPJS Ketenagakerjaan untuk para pemain.
Hal tersebut kemudian didukung oleh PT LIB dan PSSI. Bahkan, PT LIB merencanakan kepersertaan BPJS pemain sebagai syarat yang harus dipenuhi klub ke depannya dalam hal ini peserta Liga 1 dan Liga 2.
Ini penting sehingga kesehatan para pemain akan lebih terjamin.
"Setelah pertemuan lima kali (PSSI dan PT LIB), akhirnya mencapai kata sepakat bahwa kepersertaan pemain dalam BPJS adalah hal wajib," ujar Dita.
"Kemudian, standar upah harapannya bisa ada standar minimum mengacu sebagaimana yang ada di daerah atau regional," jelasnya menambahkan.
Adapun Legal APPI Jannes Silitonga juga menyinggung kehadiran BPJS yang akan sangat bermanfaat bagi para pesepak bola.
Hal ini mengingat pesepak bola merupakan profesi yang rentan akan cedera dan membutuhkan biaya tinggi untuk pengobatan.
"Saat pemain berlatih dan bertanding, kalau terjadi hal-hal yang tidak diinginkan, seperti kecelakaan kerjaan kemudian ada perlindungan mulai dari pengobatan, mereka butuh perawatan hingga pulih dan waktu rehabilitasi," tutur Janes.
"Biayanya sangat besar dan itu tidak bisa dokter umum harus dokter spesialis dan pastinya biaya besar. Di sini kami butuh peran jaminan sosial. BPJS sanggup melakukan itu," katanya menambahkan.
BPJS Ketenagakerjaan yang nantinya akan didapatkan para pemain sendiri meliputi jaminan kesehatan, jaminan kematian, jaminan kecelakaan kerja.
Sementara itu, APPI dan pihak pemerintah nantinya akan menggelar seremoni kesepakatan bersama untuk jaminan sosial para atlet pada 30 November.
Acara tersebut juga akan melibatkan jaminan sosial untuk cabang olahraga lain seperti bola voli, bola basket, dan lain-lainnya.
https://bola.kompas.com/read/2021/11/22/20420158/kolaborasi-appi-dan-kemnaker-pesepak-bola-sah-jadi-pekerja-wajibkan-pemain-dapat