Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Kisah Klub yang Paling Dibenci di Liga Jerman...

Laporan langsung Jalu W. Wirajati dari Leipzig, Jerman. 

KOMPAS.com - Nama RB Leipzig menjadi santer diperbincangkan sejak meraih tiket promosi ke Bundesliga 1 - kasta teratas Liga Jerman - pada musim 2016-2017. Ada nada minor terkait keberhasilan itu sehingga menjadikan mereka sebagai klub yang paling dibenci. 

Adalah Dietrich Mateschitz yang menjadi awal dari munculnya RB Leipzig. Pemilik minuman energi Red Bull asal Austria itu ingin mengembangkan divisi olahraganya dengan membentuk klub di Liga Jerman dan menyiapkan bujet 50 juta euro. 

Niatan Dieter Mateschitz itu mendapat dukungan dari koleganya, Franz Beckenbauer, yang tak lain adalah legenda sepak bola Jerman. Akan tetapi, keinginan itu sempat terhadang aturan Asosiasi Sepak Bola Jerman (DFB). 

Red Bull ingin membeli klub kasta keempat Liga Jerman, FC Sachsen Leipzig, lalu mengubah nama dan warna kebesarannya. Hal ini ditolak DFB karena khawatir klub baru tersebut akan terlalu dominan "warna" perusahaan sang penyokong dana. 

Selain itu, di Jerman, ada aturan bahwa klub harus dimiliki oleh anggota. Aturan 50+1 kepemilikan klub adalah anggota itu dinilai sulit dipenuhi oleh Mateschitz. 

Setelah sempat maju-mundur terutama terkait dengan aturan DFB dan pencarian klub yang didanai, akhirnya Mateschitz dan Red Bull kembali melirik Leipzig. Dipilihlah klub bernama Markranstaedt untuk diambil alih pada 2009. 

Markranstaedt saat itu berada di kasta kelima. Aturan kepemilikan 50+1 tak berlaku untuk tim di luar empat kasta teratas Bundesliga sehingga Mateschitz bisa leluasa untuk menggelontorkan dana besar.

Nama klub pun berubah menjadi RB Leipzig yang merupakan kepanjangan dari RassenBallsport Leipzig alias klub sepak bola lapangan rumput di Leipzig. Die Roten Bullen menjadi klub kelima di bawah bendera Red Bull. 

Sebelumnya, Mateschitz sudah memiliki Red Bull Salzburg di Austria, New York Red Bulls di Amerika Serikat, serta Red Bull Brasil dan Red Bull Ghana. Leipzig tak memakai Red Bull karena memang tak boleh ada nama perusahaan sebagai embel-embel klub. 

Pada tahun pertama dibentuk, Die Rotten Bullen langsung promosi Regionalliga alias kasta ke-4 Liga Jerman. Perombakan terjadi di susunan direksi demi memenuhi aturan 50+1 soal kepemilikan klub. 

Perubahan ini dianggap akal-akalan oleh klub lain karena jumlah anggota yang cuma 17. Bandingkan dengan Bayern Muenchen dengan 234 juta member, terbanyak di antara klub dengan sistem keanggotaan. 

Hal inilah yang memicu kebencian dari para petinggi maupun suporter klub lain. Wajar apabila banyak perlakuan negatif diterima mereka ketika bertanding. 

Ada sejumlah suporter tandang menolak hadir ke markas Leipzig karena kebencian itu. Bahkan, suporter Dynamo Dresden, klub tersukses dari negara eks Jerman Timur, sempat melempar potongan kepala banteng ke lapangan saat menjamu Leipzig, Agustus 2016. 

Selain itu, ketidaksukaan mereka tak lepas dari prestasi meroket RB Leipzig sejak 2012-2013 atau ketika Ralf Rangnick masuk sebagai direktur klub. 

Sejak Rangnick masuk, Leipzig naik promosi dua kali dalam dua tahun hingga masuk ke kasta kedua Liga Jerman, Bundesliga 2. Pada musim kedua di Bundesliga 2, mereka sukses finis kedua musim 2015-2016 sehingga berhak lolos otomatis ke Bundesliga 1. 

Warga tak peduli 

Kebencian itu memang datang dari supoter dan petinggi klub lain yang menilai RB Leipzig telah merusak nilai-nilai tradisional klub Jerman. Akan tetapi, tidak halnya dengan masyarakat Kota Leipzig. 

Warga di kota eks negara Jerman Timur itu justru senang dengan kehadiran Die Rotten Bullen. Maklum saja, meski punya stadion yang dipakai di Piala Dunia 2006, Leipzig tak punya klub di kasta atas Liga Jerman. 

Putusan Mateschitz memilih Leipzig tepat. Tak ada klub lain di wilayah timur Jerman itu yang tampil di kasta teratas sejak Energi Cottbus dan Hansa Rostock terdegradasi pada 12 tahun lalu. 

Apalagi, warga Leipzig juga tak punya kebanggaan karena sejak 1998 tak ada lagi klub sepak bola dari kota tersebut yang bermain di liga profesional. Kehadiran RB Leipzig menjadi pelepas dahaga mereka selama lebih dari satu dekade. 

"Mereka yang benci Leipzig mengatakan bahwa klub ini besar karena disokong oleh pengusaha dengan dana besar," kata Daniel, bartender di Kildare City Pub, tempat peserta Bundesliga Media Visit makan malam, Minggu (24/2/2019). 

Daniel menilai bahwa ada "standar ganda" dalam sepak bola Jerman terkait dengan RB Leipzig yang disponsori oleh satu produk karena sejumlah tim lain pun demikian. 

"Dalam sepak bola modern, mana ada klub besar tanpa punya banyak uang dan disokong perusahaan besar? Lihat saja Bayern Muenchen, atau Bayer Leverkusen yang didirikan oleh pabrik farmasi," tuturnya melanjutkan. 

Hal senada dikatakan Jakob Junghoefer. Karyawan bagian tur stadion di Red Bull Arena itu menerangkan bahwa sikap iri klub lain tak lepas dari prestasi meroket timnya. 

"Kami baru 10 tahun lalu bisa naik begitu cepat dan mengganggu persaingan klub-klub tradisional yang mungkin sudah hampir satu abad berkompetisi," ucap Jakob saat menemani tur stadion, Senin (25/2/2019). 

"Klub-klub lain pun menjadi iri kepada kami. Namun, kami tak peduli karena toh suporter senang dengan prestasi tim ini," ujar pria yang akrab disapa Jay itu. 

Pusat pelatihan mewah 

Prestasi merokat RB Leipzig memang tak lepas dari dana besar sang pemilik serta tangan dingin Ralf Rangnick yang saat ini kembali turun tangan sebagai pelatih. Di bawah pengelolaan Rangnick, Die Rotten Bullen menjelma menjadi klub muda potensial. 

Musim ini saja, usia rata-rata dari seluruh pemain utama Leipzig berdasarkan situs web Transfermakt adalah 23,7 tahun. Mereka menjadi predikat termuda dalam tiga musim beruntun di Bundesliga 1 atau sejak promosi pada 2016-2017. 

Selain soal kebijakan perekrutan pemain yang tak boleh lebih dari usia 24 tahun, Leipzig juga membangun akademi sendiri. Mereka pertama kali membebaskan lahan kota enam hektar pada 2011 untuk membangun lapangan latihan. 

Setelah itu, dana 35 juta euro (Rp 557 miliar dengan kurs saat ini) dikucurkan Red Bull untuk membangun akademi yang diresmikan pada 2014 dan berada tak jauh dari Red Bull Arena. Pusat pelatihan itu pun sangat modern. 

Salah satu alat modern yang digunakan di tempat tersebut adalah Ruangan 360 derajat. Di tempat tersebut, seorang pemain akan melatih refleks dan kecepatan dalam pengambilan keputusan dengan memberi umpan kepada pemain lain. 

"Kami menjadi klub pertama dan saat ini satu-satunya di Jerman yang memakai teknologi ini," kata Carolin Dietrich, kepala seksi internasional klub. 

"Bagaimanapun, pengambilan keputusan adalah hal paling mendasar dalam sepak bola. Dengan alat ini, pemain dituntut memiliki pandangan seluas 360 derajat untuk bisa membaca permainan dan ke mana bola akan dialirkan," tuturnya. 

Hanya, ketika Kompas.com ikut dalam tur ke pusat pelatihan tersebut, tak diperkenankan untuk melakukan pengambilan foto. Menurut Carolin, hal itu untuk menjaga kerahasiaan klub dan menghindari hal-hal yang tak diinginkan. 

Renovasi stadion bersejarah 

Prestasi meroket itu juga mengundang suporter hadir, khususnya warga kota, untuk menyaksikan RB Leipzig bertanding. Stadion layak pun diperlukan untuk bisa menampung antusiasme warga. 

Pada awalnya, Stadion am Bad milik Markranstaedt  dengan kapasitas 5.000 kursi dipakai pada musim pertama RB Leipzig. Padahal, di kota tersebut ada Zentralstadion, salah satu tuan rumah Piala Dunia 2006. 

Zentralstadion dibangun pada 1956 oleh Pemerintah Jerman Timur dengan kapasitas 100.000 penonton. Jelang Piala Dunia 2006, stadion itu dipugar dan kapasitasnya tereduksi menjadi 43.000 kursi. 

Red Bull lantas membeli hak penamaan stadion tersebut untuk 10 tahun pada 2010. Nama Zentralstadion pun berubah menjadi Red Bull Arena dan menjadi kandang bagi Die Rotten Bullen sejak saat itu. 

Red Bull Arena menjadi saksi kebangkitan sepak bola Leipzig dan RB Leipzig. Berangsur-angsur, rasa benci dari masyakat Jerman terhadap klub tersebut terkikis. 

Berdasarkan hasil survei LSC Management kepada 5.950 fan Liga Jerman yang dirilis pada Maret 2017, sebanyak 75 persen responden mengatakan bahwa RB Leipzig telah memberikan warna baru pada Bundesliga.

Selain itu, 94,5 persen atau nyaris seluruh responden menilai Die Rotten Bullen telah melakukan inisiatif positif dalam membangun klub.  

Melihat kedigdayaan Bayern Muenchen dalam beberapa dekade terakhir, bukan tak mungkin RB Leipzig akan mengubah paradigma orang dari benci menjadi cinta... 

https://bola.kompas.com/read/2019/02/26/07580008/kisah-klub-yang-paling-dibenci-di-liga-jerman

Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke