KOMPAS.com — Menyaksikan bagaimana ramai dan berduyun-duyunnya masyarakat pencinta sepak bola untuk memperoleh tiket menonton laga final sepak bola Piala AFF minggu lalu mengingatkan saya pada Stadion Ikada.
Stadion Ikada (Ikatan Atletik Djakarta) merupakan stadion terbesar dan termegah pada tahun 1950-an yang terletak di lapangan Gambir, sekarang kawasan Monas. Di sinilah tempat berlangsungnya pertandingan sepak bola yang menarik banyak pengunjung, para pencinta sepak bola, kala itu.
Tidak hanya laga bola dari kesebelasan domestik, tetapi kerap pula pertandingan sepak bola tim Indonesia melawan beberapa kesebelasan luar negeri. Pencinta bola di Indonesia terlihat tidak pernah surut fanatismenya, walau kesebelasan kesayangannya, sudah lama sekali, dan sangat jarang dapat meraih prestasi yang dapat dibanggakan.
Refleksi dari kecintaan masyarakat luas terhadap para pemain bola tingkat nasional terlihat dari munculnya nama-nama pemain bola terkenal dalam pergunjingan tentang bola di masyarakat luas sehari-hari.
Pada tahun 1950-an menjelang awal tahun 1960-an, nama-nama pemain bola beken saat itu antara lain adalah Suwardi, Ramang, Noorsalam, sebagai trio penyerang PSM Makassar. Di Persija Jakarta muncul nama seperti Djamiat, Witarsa, Kiat Sek, dan Tan Liong How.
Sementara itu, kiper yang terkenal adalah Van der Vin, keturunan Belanda, lalu ada Saelan. Pelatih yang sangat terkenal pada masa itu adalah Antun “Toni” Pogacnik, mantan pemain ulung yang kerap memperkuat kesebelasan Yugoslavia.
Pelatih inilah yang pernah membawa kesebelasan nasional Indonesia muncul di panggung global yang secara mengejutkan menahan seri 0–0 kesebelasan Rusia.
Pertandingan pada kancah Olimpiade Melbourne 1956 itu mungkin menjadi satu-satunya prestasi tingkat dunia yang pernah dicapai tim nasional Indonesia.
Pada pertandingan ulangan dua hari kemudian, Indonesia dikalahkan Rusia dengan skor 4–0.
Untuk diketahui, pada Olimpiade 1956, kesebelasan Rusia adalah tim yang berhasil meraih medali emas dalam cabang olahraga sepak bola.
Stadion Ikada, bentuknya cukup unik, terdiri dari bagian yang paling bagus, dikenal sebagai "Tribune Barat" dan di seberangnya sering disebut sebagai "Tribune Timur" dengan atap seng berwarna merah dilengkapi dengan bangunan kecil semacam "tower", menara mungil yang digunakan oleh RRI (Radio Republik Indonesia) untuk menyiarkan laporan pandangan mata pertandingan sepak bola yang tengah berlangsung.
Pada waktu itu, satu-satunya cara untuk mengikuti petandingan bola di luar stadion hanyalah dengan cara mendengarkan radio. Kala itu, belum ada siaran televisi. Stasiun radio pun hanya satu-satunya, stasiun radio pada tahun 1950-an, yakni RRI (Radio Republik Indonesia).
Yang juga unik dari bangunan Stadion Ikada adalah sisi kiri kanan dari tribune barat dan timur difasilitasi bagi penonton bola yang berdiri, tidak disediakan kursi dan tidak pula beratap.
Jadi, pada waktu itu, Stadion Ikada dikenal memiliki bagian yang disebut sebagai Tribune Barat, Tribune Timur, dan bagian "open", istilah untuk bagian yang terbuka bagi penonton berdiri di Stadion Ikada.