Penulis: Sindhunata
KOMPAS.com - Piala Eropa mempunyai slogan ”siklus 12 tahunan”. Dalam siklus 12 tahunan itu tersimpan mitos, kesebelasan kecil dan pinggiran akan keluar sebagai juara.
Tahun 1992, Denmark, kesebelasan negeri dongeng, keluar sebagai pemenang. Dua belas tahun kemudian, tahun 2004, Yunani, yang sama sekali tak diunggulkan, merebut mahkota bola Eropa.
Slogan ”siklus 12 tahunan” itu dicanangkan oleh Wales, ketika mereka akan menghadapi Portugal. Wales merasa diri sebagai kesebelasan kecil.
Tahun 2016 ini adalah 12 tahun setelah Yunani juara. Tidakkah mungkin jatah juara itu sekarang jatuh ke tangan Wales? Begitu keyakinan Gareth Bale dan kawan-kawannya ketika mereka hendak menghadapi Portugal. Ternyata di semifinal Wales gugur.
Namun, sekarang masih ada pertandingan final, antara Perancis dan Portugal. Di kancah bola Eropa, Portugal dikenal sebagai ”negara kecil” walau mempunyai pemain hebat sekelas Cristiano Ronaldo, Nani, dan Pepe.
Alasannya, tak sekali pun mereka juara walau telah sekian banyak kali hadir dalam Piala Eropa. Portugal dibandingkan dengan Jerman, Italia, dan Perancis memang dianggap tidak terlalu istimewa. Namun, jika siklus 12 tahunan itu berlaku, tidakkah saat ini adalah kesempatan Portugal, si negara kecil bola itu, meraih juara?
Dalam bola memang banyak hal tak dapat diduga. Sekarang Portugal yang tertatih-tatih malah sudah menjejakkan kaki ke final. Sementara Jerman, yang dianggap bermain lebih baik dibandingkan Perancis, malah sudah terusir pulang di semifinal, dan Perancis-lah yang di final menghadapi Portugal.
Memang, seperti ditulis wartawan bola Christian Spiller dari koran Zeit, bola itu adalah sport yang aneh. Bola itu indah karena belum tentu kesebelasan yang lebih baik bisa menang. Sekaligus bola itu juga menjengkelkan, justru karena fakta, bahwa kesebelasan yang lebih jelek belum tentu kalah.
Joachim Loew boleh saja memuji kesebelasan Jerman bermain lebih baik. Namun, akhirnya yang menentukan adalah gol. Dan, dua gol di semifinal itu dibuat oleh Perancis, bukan Jerman.
Gol itu bisa saja sebuah keberuntungan. Namun, dengan demikian, keberuntungan ini makin menerangkan betapa bola itu adalah sebuah absurdum.
Dalam absurdum itu tersembunyi misteri, seperti ditulis oleh penyair Italia, Pietro Metastasio: ”Sering kali orang kehilangan yang baik justru ketika ia mencari yang lebih baik.” Itulah absurdum yang membuat bola jadi menarik dan mencekam.
Kali ini Jerman merasa tidak beruntung, dan Perancis bernasib baik. Namun, Perancis pun merasa, mereka juga mempunyai trauma ketidakberuntungan terhadap Jerman. Itu terjadi pada semifinal Piala Dunia 1982 di Sevilla, Spanyol.
Sampai waktu normal, skor 1-1, antara Perancis dan Jerman. Dalam perpanjangan waktu, Perancis unggul 3-1 lewat gol Marius Tresor dan Alain Giresse.
Namun, ketika pertandingan hampir berakhir, Karl-Heinz Rummenigge dan Klaus Fischer bisa menyamakan kedudukan jadi 3-3. Pertandingan dilanjutkan dengan adu penalti, dan Jerman menang 5-4.
”Kekalahan yang sungguh menyakitkan. Tak mungkin rasanya berdamai dengan kekalahan itu. Ibaratnya, orang kehilangan anggota keluarganya tercinta karena mati, lalu dia bilang, aku telah melupakannya. Mana mungkin itu terjadi?” kata Giresse mengenang kejadian 25 tahun lalu.