BRASILIA, KOMPAS.com — Sukses Argentina ke babak empat besar Piala Dunia 2014 melegakan pelatih Alejandro Sabella. Inilah semifinal pertama tim ”Tango” dalam 24 tahun terakhir. Sejarah terukir seusai Lionel Messi dan kawan-kawan menang 1-0 atas Belgia di Stadion Nacional, Brasilia, Sabtu (5/7/2014).

Keberhasilan itu juga mengangkat rasa percaya diri suporter yang sejak awal meragukan tim Tango. ”Semula saya ragu dengan peluang Argentina karena terlalu bergantung pada Messi. Namun, sukses melaju ke semifinal membuat kami yakin mampu membawa pulang trofi juara,” ungkap Javier, pendukung tim Tango, di Rio de Janeiro.

Javier adalah salah satu dari ratusan suporter tim Tango yang menonton laga Argentina melawan Belgia di tempat berkumpul suporter (fan fest) yang disediakan FIFA di Pantai Copacabana. Ia berpakaian ala Paus (pemimpin umat Katolik dunia yang berasal dari Argentina) dengan gambar Messi dan Diego Maradona di bagian dada. Saat Gonzalo Higuain mencetak gol pada menit ke-8, Javier pun larut dalam sukacita, seperti ratusan pendukung yang lain.

”Kami akan memenangi Piala Dunia yang ketiga kali. Brasil kehilangan Neymar, tetapi kami memiliki Messi,” ujar Carlitos, suporter yang datang dari San Lorenzo, Argentina. Ungkapan itu menggambarkan rivalitas sengit Brasil dan Argentina, dua adidaya sepak bola di Amerika Selatan.

Keyakinan para suporter juga tak lepas dari penampilan gemilang Higuain. Gol semata wayang pemain Napoli itu menunjukkan bahwa Argentina bukan hanya punya Messi.

Legenda tim Tango, Daniel Passarella, bahkan menyebut duo Messi dan Higuain mengingatkannya pada pasangan Diego Maradona dan Jorge Valdano di Piala Dunia 1986. Kala itu, dalam skema permainan 5-3-1-1 yang dikembangkan pelatih Carlos Bilardo, Valdano dipasang sebagai striker, sedangkan Maradona menjadi penyerang lubang.

Itu sama dengan pola 4-4-2 yang diterapkan Sabella dalam laga melawan Belgia. Kenyataannya, skema itu berubah jadi 4-4-1-1 dengan Messi bermain sedikit di belakang Higuain.

”Semoga ’El Pipita’ (julukan Higuain) juga bisa seperti Paolo Rossi yang bersinar di laga-laga terakhir menjelang final,” kata Passarella. Di Piala Dunia 1982, Rossi baru mencetak gol sejak babak 8 besar hingga final dan membawa Italia menjadi juara.

Sayang, pesta Argentina terganggu dengan cedera Angel di Maria. Sejauh ini, dialah pemain yang mampu meringankan beban Messi. Pemain Real Madrid itu rajin bergerak di kedua sayap dan aktif membagi bola.

Tak khawatir

Sabella mengakui peran sentral Di Maria di lini tengah. Namun, ia tak khawatir karena timnya memiliki Messi. ”Justru setelah Di Maria tak ada, Messi tampil menggila. Ia lebih banyak menguasai bola sehingga mampu menarik dua hingga tiga pemain lawan. Itu memberikan ruang bagi pemain lain,” ujarnya.

Pelatih Belgia Marc Wilmots mengakui, perubahan skema dari 4-3-3 menjadi 4-4-1-1 membuat tim Tango lebih solid. ”Mereka tampak lebih berbahaya karena memiliki lebih banyak pemain di lini tengah. Sebaliknya, kami kalah pengalaman,” kata gelandang Belgia era 1990-an itu.

Pola permainan itu kemungkinan besar akan tetap dipakai Sabella ketika menghadapi Belanda di semifinal. Posisi Di Maria akan ditempati Fernando Gago atau Enzo Perez yang tampil apik saat melawan Belgia. (afp/fifa/eurosport/riz)