KOMPAS.com — Di tengah Stadion Zayyarthiri, Naypyidaw, Myanmar, Ramdani Lestaluhu, duduk melamun. Kelopak matanya basah. Berkali-kali kaus merah berlambang garuda yang melekat di badannya diusapkannya ke muka. Betapa sedih hatinya, Indonesia kembali gagal meraih gelar juara di cabang sepak bola SEA Games 2013.
Tak jauh dari tempat Ramdani meratap, para pemain Thailand tampak berpesta di podium kemenangan. Ini adalah kali kedua Ramdani melihat dengan mata kepala sendiri puluhan medali emas berayun di leher para pemain lawan yang melompat-lompat merayakan kemenangan di final SEA Games.
Apa yang disaksikan Ramdani juga disaksikan ratusan juta orang Indonesia melalui layar kaca, seiring ingatan memutar kembali kenangan serupa pada final SEA Games 2011, di Jakarta.
Indonesia tidak sekadar kalah. Kekalahan juga semakin memperpanjang dominasi Gajah Putih atas Garuda dalam 18 pertemuan terakhir. Sejak SEA Games 1977, Thailand menang 13 kali, sedangkan Indonesia hanya mampu memenangi empat pertandingan. Dua kali mereka bermain imbang. Dua kali pula Indonesia sempat merasakan takluk 0-7 dan 0-6 pada SEA Games 1985 dan 2003.
"Saya memohon maaf. Kami belum bisa memberikan kado terbaik bagi Indonesia pada tahun ini. Jika kita mau membandingkan dengan tim lain memang tim kita paling minimalis dalam persiapan," kata pelatih Rahmad Darmawan seusai pertandingan. Kata-kata itu pula yang dulu kerap didengar oleh Ramdani serta seluruh masyarakat Indonesia saat timnas menelan kegagalan di lapangan.
Ramdani serta publik Tanah Air pun kembali dihadapkan pada realita, Indonesia belum pantas untuk meraih juara di Asia Tenggara. Berdasarkan realita itu juga, atas segala kekurangan dalam tubuh skuad Garuda Muda, medali perak adalah pencapaian yang sudah cukup luar biasa bagi Indonesia.
Sekali lagi, tidak pantas rasanya pelatih atau pemain disalahkan atas kegagalan ini. Para pengurus Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia (PSSI)-lah yang patut dimintai pertanggungjawaban. Terlalu banyak intrik serta pembelaan jika para pemain timnas tertunduk lesu di podium kekalahan.
Toh, sejauh ini belum ada hasil nyata dari lapangan sepak bola atas berbagai apologi atau alasan yang selalu dikumandangkan. Sedikit menoleh ke belakang, Indonesia memang sempat merasakan euforia juara saat timnas U-19 meraih gelar AFF 2013 serta lolos ke putaran final Piala Asia U-19 2014.
Namun, apakah itu murni hasil kerja keras PSSI dalam mempersiapkan tim juara? Tidak. Sejatinya, itu adalah keikhlasan seorang Indra Sjafri, pelatih timnas U-19, mencari talenta-talenta muda ke polosok negeri.
Perayaan
Di Indonesia, sepak bola adalah fiesta. Lewat sepak bola, seluruh masyarakat Indonesia bisa berkumpul dengan semangat nasionalisme tinggi di tengah kekacauan politik akibat budaya korupsi dari para politisi yang tak tahu diri. Dari perayaan sepak bola jugalah sejarah besar bangsa ini tercipta.
Karena itu, tak heran para Bapak Bangsa seperti Soekarno, Mohammad Hatta, Sutan Sjahrir, hingga Tan Malaka begitu menggilai sepak bola. Bagi mereka, sepak bola merupakan warisan bangsa yang harus dijaga karena mengandung seni serta pelbagai inspirasi untuk membangun negeri.
Sejak era 1930-an, Indonesia sudah merasakan pesta luar biasa dari sepak bola. Lihat saja ketika Indonesia menjadi satu-satunya tim Asia Tenggara yang pernah tampil di Piala Dunia 1938, meski kala itu masih dengan nama West Indies karena Nusantara masih dalam kekuasaan kolonial Belanda.
Selepas merdeka, Indonesia tetaplah merupakan macan Asia. Bahkan, Indonesia pernah menahan Rusia 0-0 di Olimpiade Melbourne, Australia, pada 1956. Itu sebuah partai dramatis dan bersejarah pun inspiratif, mengingat Rusia adalah tim raksasa di Eropa kala itu, dan akhirnya meraih medali emas.
Sederet nama-nama besar seperti Ramang, Maulwi Saelan, Sutjipto Suntoro, Ronny Paslah, Iswadi Idris, Ronny Pattinasarany, Hery Kiswanto, dan Ricky Yacobi adalah bukti bahwa Indonesia sempat masuk ke dalam pesta sepak bola di Asia Tenggara sejak 1950-an sampai awal 1990-an.
Pada 1988, misalnya, Indonesia masih bisa mencapai semifinal Asian Games di Seoul, Korea Selatan. Kemudian, pada 1991, Indonesia merebut medali emas SEA Games di Manila. Setelah itu, nir-gelar, hingga para talenta muda di skuad timnas U-19 melepaskan sedikit dahaga pada Piala AFF 2013 serta Kualifikasi Piala Asia 2014.
Kompetisi
Kegagalan timnas U-23 di SEA Games tahun ini sekiranya dapat kembali mengajarkan bahwa dalam sepak bola tidak ada jalan pintas. Persiapan yang hanya dilakukan selama lima atau enam bulan timnas U-23 adalah salah satu bukti contoh nyata kegagalan dari pelajaran berharga tersebut.