KETAKUTAN itu tak menjadi kenyataan. Hukuman ringan dari FIFA seharusnya mencairkan ketegangan kubu sepak bola di Indonesia usai KLB PSSI yang mengantarkan Erick Thohir sebagai Ketua Umum PSSI 2023-2027.
Alangkah eloknya bila semua stakeholder menyambut hukuman FIFA itu dengan merapatkan barisan agar sepak bola Indonesia punya posisi penting dan daya tawar kuat dalam kehidupan kita berbangsa dan bernegara.
Kenapa FIFA tidak menghukum Indonesia dengan mengucilkan kita dari sepak bola internasional atas kemelut yang terjadi jelang penyelenggaraan Piala Dunia U20? Apa sebab FIFA hanya menjatuhkan hukuman administratif kepada Indonesia lewat penghentian sementara bantuan dana program FIFA Forward?
Apakah benar alasan FIFA membatalkan peran Indonesia sebagai tuan rumah itu bukan karena kegagalan PSSI, organisasi anggotanya, atau karena intervensi pemerintah?
Baca juga: PSSI Terhindar dari Sanksi Berat, Pengamat: Betapa Spesialnya Indonesia di Mata FIFA
Selain bersyukur atas kartu kuning, begitu versi Ketum PSSI, yang diberikan FIFA kepada Indonesia, tentu banyak pertanyaan yang muncul akibat kegaduhan belakangan ini di Bumi Nusantara. Apakah pertanyaan-pertanyaan itu punya jawaban yang pasti?
Entah kebetulan atau memang skenario, dua nama yang paling menonjol dalam penolakan kehadiran tim Israel berasal dari warna sama. Pernyataan disampaikan dengan membawa isu kemanusiaan.
Bahkan, Sang Gubernur sempat mengajak masyarakat berdoa agar FIFA mencoret Israel, yang lolos lewat perjuangan di babak kualifikasi, dari peserta Piala Dunia U20.
Kok kepikiran begitu ya? Sosok sama juga melontarkan penolakan atas kehadiran atlet Israel di daerahnya untuk berlaga di World Beach Games 2023. Ngapain mau jadi tuan rumah kalau begitu?
Mungkin perlu disampaikan tujuh nilai olahraga agar pernyataan tidak bertentangan dengan "persahabatan, rasa hormat, keunggulan, kesetaraan, tekad, inspirasi, dan keberanian".
Baca juga: Kena Sanksi FIFA Forward 3.0, Apa Dampaknya bagi Indonesia?
Komunikasi dimainkan guna membangun gelombang isu yang dianggap ampuh menggalang dukungan. Ya, isu Israel mungkin saja masuk ke dalam strategi mengais simpati. Ah, jangan-jangan malah strategi komunikasi bunuh diri? Belum tentu. Publik kita terkenal pelupa dan mudah terseret isu lain.
Di pihak berbeda, muncul kelompok memakai narasi yang berseberangan dengan kedua gubernur dan beberapa ormas sependapat. Mereka mencoba satu frekuensi dengan masyarakat sepak bola yang menantikan Piala Dunia U20 di Indonesia.
Mungkinkah segala narasi dan komunikasi yang dimunculkan ke publik oleh dua kelompok non-sepak bola ini tanpa agenda penuh misteri?
Adalah wajar bila kita melihat sepak bola di negeri ini kembali menjadi alat kepentingan politik. Kita semua paham, aktivitas politik dalam mencapai sebuah tujuan tak akan lepas dari kehidupan kita. Begitu pula di sepak bola. Hanya, apakah kepentingan itu untuk orang banyak dan harumnya nama Indonesia, atau karena kebutuhan strategi kelompok tertentu?
Pembatalan undian pembagian grup di Bali yang kemudian diikuti pencoretan Indonesia selaku tuan rumah Piala Dunia U20 masih menjadi misteri dan teka-teki. Jawabannya ada di Istana Merdeka.
Kembali ke hukuman FIFA. Dalam sepak bola, pelanggaran ringan akan diberikan kartu kuning oleh wasit. Dalam kasus Indonesia sebagai tuan rumah Piala Dunia U20 yang gagal, pelanggaran apa yang FIFA lihat?