Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Toto TIS Suparto
Editor Buku Lepas, Ghostwritter

Editor Buku

Tragedi Stadion Kanjuruhan dalam Bingkai "Sport Ethics"

Kompas.com - 03/10/2022, 06:30 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

TRAGEDI nasional terjadi di lapangan sepak bola. Sebanyak 125 nyawa melayang akibat kericuhan di Stadion Kanjuruhan Malang usai tuan rumah Arema FC kalah 2-3 dari Persebaya di pekan ke-11 liga 1 2022/2023, Sabtu (1 Oktober 2022) lalu.

Data kematian tersebut berdasar laporan resmi pemerintah yang dihimpun hingga Minggu (2/10/2022) malam. Korban yang mengalami luka-luka akibat peristiwa itu sebanyak 299 jiwa. Dengan rincian, 260 orang luka ringan dan 39 luka berat.

Tentu angka yang menyedihkan. Jangankan di atas seratus orang, satu suporter meninggal di stadion sudah menjadi duka nasional.

Tragedi ini menyentakkan kita bersama, ada sesuatu yang keliru dalam standar liga sepak bola kita. Tetapi bukan hal ini yang menjadi fokus tulisan kali ini. Saya ingin melihatnya dari sisi lain, yakni dari bingkai "sport ethics".

Apa itu "sport ethics"? Andrea Borghini menyatakan "sport ethics" adalah cabang filsafat olahraga yang membahas etika secara spesifik yang muncul selama dan di sekitar kompetisi olahraga.

"Etika ini menjadi titik terpenting yang menghubungkan filsafat dan masyarakat pada umumnya," kata Borghini, seorang profesor filsafat di Universitas Milan, Italia, dalam laman thoughtco.com.

Secara garis besar, jika meminjam kajian para etikawan, maka sport ethics memetakan tujuh etika utama dari aktivitas olahraga, yaitu; (a) sportivitas; (b) kecurangan; (c) peningkatan kinerja; (d) olahraga yang berbahaya dan penuh kekerasan; (e) gender dan ras; (f) penggemar dan penonton; (g) olahraga disabilitas; dan (h) estetika olahraga.

Pakailah satu etika utama: sportivitas. Apa yang bisa dibaca? Betapa susahnya menegakkan sportivitas dimaksud.

Bukan saja dituntut kepada pemain, tetapi penonton, terutama suporter fanatiknya. Sportivitas merupakan pilar etika olahraga.

Sportivitas adalah kebajikan olahraga yang paling penting. Ini juga dianggap penting bagi kehidupan dan budaya di luar olahraga.

Menerima lapang dada atas kekalahan tim favoritnya merupakan bentuk sportivitas. Dalam bingkai ini, sudahkah Aremania mau menerima kekalahan?

Tampaknya ada oknum yang belum menerima kekalahan tersebut. Menurut saksi mata lewat cuitan di twitter, pada mulanya ada satu oknum penonton yang masuk ke lapangan dan diduga protes ke pemain kenapa mainnya jelek sehingga kalah.

Penonton lain melihat oknum itu berdebat, lalu ikutlah oknum lainnya. Dari satu oknum ke oknum lain, jadilah penonton lain masuk ke lapangan.

Dalam jumpa pers disebutkan sekitar 3.000 orang yang masuk ke lapangan. Sementara jumlah aparat pengaman tak sebanyak itu. Kemudian yang terjadi seperti yang kita tonton di televisi maupun video medsos.

Mengapa tak mau menerima kekalahan? Bisa jadi terkait elemen sport ethics lainnya: kinerja. Riwayat kinerja Arema FC, sejak 1994 tak pernah kalah dari Persebaya tatkala main di kandang. Tiba-tiba kemarin kalah.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com